Saturday, November 9, 2013

When you Love Someone


Ditulis tahun 2003
Terinspirasi oleh: Someone with Crutches in UNDIL
           
Sementara tanganku memainkan lagu kesayanganku pada piano, pikiran melayang jauh saat aku masih bebas melangkah, bergerak dan berlari kesana kemari. Tak terasa jari-jemariku berhenti menari di atas tuts-tuts piano itu. Kuhembuskan nafas perlahan dan kuarahkan pandangan ke tangga lantai dua. Di sanalah ruang baca papa, lengkap dan menyenangkan. Apalagi ditambah koleksi buku abangku Jon dan Zeca. Tapi kini aku tak mampu pergi sendiri ke sana untuk membaca dan menyepi. Kelumpuhanku ini telah menghentikan semua langkahku, mengubah seluruh kehidupanku. Itu juga menghapus cita-citaku menjadi wartawan, setidak-tidaknya menjadi ….. pengaranglah. Kegiatan di alam bebas pun harus dihentikan secara total. Bagaimana bisa mengikuti panjat tebing kalau jalanpun harus tertatih-tatih dengan dua penyanggah lengan? Bagaimana bisa mencapai puncak kalau kaki sudah tak bisa merasakan sakit atau pegal karena mati syaraf?
            Karena kemurahan papa, mas Jon dan Zeca sajalah aku bisa tetap datang ke perpustakaan papa, karena kemurahan Kepala Sekolah sajalah, aku bisa terus sekolah, dan kasih sayang teman-teman, aku bisa tetap bersahabat tanpa diejek. Sayang, ada seorang cewek temanku sendiri, yang suka mempermalukan aku. Sampai sekarang tak pernah kupedulikan. Yang penting aku bisa terus sekolah dan lulus. Kelumpuhan ini tidak boleh membuatku frustrasi atau putus asa, tidak boleh menjadi penghalang usahaku untuk maju.
            Terbayang olehku sosok jangkung, atletis dan cukup tampan. Dia pintar main gitar, jago di arena karate, pintar di kelas lagi. Wooow, mengingat semua itu, jantungku sempat berdegup. Memang sih dia baik kepadaku, lagi penuh perhatian. Tapi itu belum dapat diartikan cinta ‘kan? Mungkin dia bersimpati saja kepadaku karena perubahan diriku  ini. Kami pernah akrab saat sama-sama di SMA dulu. Tak lebih dari itu. Aku pun tidak mau berharap lebih banyak.
      “Lho, kok berhenti? Bosan main piano?” tiba-tiba mama sudah berada di ruang tengah. Aku jadi malu karena ketahuan sedang melamun. Aku pun menoleh. Meski sudah setengah baya tapi mama tetap cantik. Pantas papa pun tetap awet muda dan tak pernah mengalihkan cintanya pada wanita lain.
      “Mana bisa bosan dengan lagu kesayangan sendiri, ma!”
    “Kenapa tiba-tiba kau berhenti main? Nah, pasti anak mama yang satu ini lagi jatuh cinta ya!” mama mulai menggoda. Pertanyaan mama ini seketika membuat wajahku merah jambu.
      “Akhir-akhir ini mama sering perhatikan kamu duduk di tangga itu atau di taman belakang sambil melamun. Bahkan pertanyaan mama sering tak terjawab. Eti, betul kamu sedang jatuh cinta?” Kupikir mama yakin benar akan hal ini, sementara aku bengong saja.
      “Eh, ditanya mama kok begitu. Betul ya, kamu sedang dilanda cinta? Siapa yang kena panahnya, Ti?”
            Mendengar kata-kata mama aku tersenyum saja, namun juga tersipu-sipu. Ah, aku saja yang mengartikan itu adalah cinta. Bak pungguk merindukan bulan. It’s impossible! Aku menarik nafas, kemudian membuangnya perlahan seraya menggelengkan kepala.
      “Eti….!” Sekali lagi mama menyentuh pundakku dengan lembut.
      “Mana ada sih, ma, yang mau sama cewek invalid seperti Eti ini?”
Mataku jatuh menatap kedua kaki yang mulai mengecil karena syarafnya tak berfungsi lagi.
      “Duh…., anak mama yang cantik ini, kok jadi minder begini? Eti kan punya banyak kelebihan yang lain. Lagipula kalau kamu rajin berlatih, kata dokter, kamu bisa berjalan lagi.”
      “Ah, mama … Cuma mau menghibur Eti saja, ya! Syaraf sudah mati, mana mungkin bisa melangkah lagi? Itu ‘kan kalau belum terlalu parah.”
      “Sudah malam Ti, lebih baik kamu pergi tidur,” mama mencoba mengusir kepedihanku. Tapi aku punya hasrat lain. Aku ingin bikin kejutan buat papa tercinta. Segera kuraih sepasang kruk penyanggah kedua lenganku agar aku bisa melangkah tanpa menggunakan kursi roda. Memang kurang bebas rasanya.
      “Papa di mana, ma?”
      “Di ruang baca.”
Aku melirik ke atas. Ada kejutan yang ingin kuberikan pada papa. Sebenarnya aku tak bisa ke sana, tanpa bantuan orang lain. Tapi akan kucoba. Meski perlahan, pasti aku bisa, begitu kata batinku.
      “Ma, mas Zeca dan Jon sudah pulang?”
      “Kamu ini selalu menanyakan mereka.”
      Iya…. Mama ‘kan selalu ada. Jadi nggak usah dicari udah stand by di rumah. Gitu ‘kan ma?” senyum manisku tertuju pada mama. Sementara itu aku sudah sampai di depan tangga.
      “Hei, kamu mau ke mana, Ti?” seru mama dengan cemas.
      “Ke papa. Sudah lama Eti nggak baca. Kata mas Zeca kemarin baru saja membeli buku. Pengen lihat deh, ma. Buku apa saja yang dibelinya?” Mama menahan lenganku.
      “Biar mama aja yang mengambilkan untukmu.”
      “Nggak usah  ma! Eti pengen belajar naik sendiri,” kataku sambil berusaha naik sendiri ke anak tangga pertama. Masak sih, kalau ingin ke ruang baca harus dibantu orang lain. Aku harus bisa sendiri.
      “Eti, jangan!”
      “Jangan khawatir deh ma! Eti akan naik dengan hati-hati.”
Hup! Aku mampu naik ke anak tangga ketiga. Aku menoleh ke arah mama seraya melempar senyumku yang termanis.
      “Hei, hei, Eti, apa-apaan kamu ini?” tiba-tiba mas Jon muncul dari pintu samping dan segera berlari ke arah tangga dan meraih pundakku.
      “Aku mau belajar naik sendiri, mas.”
      “Anak tangganya banyak. Nanti kamu capek, Ti. Ayo kugendong kamu kalau mau ke sana.” Mas Jon kakak sulungku segera akan mengangkat tubuhku. Tapi kutolak secara halus.
      “Mas, aku bisa naik sendiri. Aku harus bisa, tanpa menunggu mas Jon atau mas Zeca.” Mas Jon mengecup keningku lembut.
      “Kamu cewek tunggal, tapi sangat tegar menghadapi musibah yang menimpamu ini dan tak pernah menyesali nasib, adik manis!”
      “Semua ini aku dapat dari mama, mas. Trims deh atas pujianmu.” Sengaja suaraku melirih: “sayang, yang memuji abangku sendiri….”
            Serasa kehangatan menyebar di seluruh wajahku. Mengapa jantung ini berdebar manis kala seraut wajah singgah di pelupuk mata?
      “He Ti, ada apa? Weleh, weleh. Pasti kamu lagi jatuh cinta, ya,”
      “Hush! Ngawur ah, mas,” kataku tersipu malu.
      “Malu-malu kucing nih ye. Siapa sih yang berhasil memikat hatimu, non?”
Kualihkan pandanganku pada sebuah lukisan yang digantungkan di dekat situ. Mataku menerawang jauh.
      “Nggak ada mas!”
Selagi berkata begitu, tiba-tiba hatiku terasa perih. Ah … cinta…. Di antara ada dan tiada. Kupejamkan kedua mata. Tak ada yang boleh tahu akan hatiku ini sebelum fakta berbicara. Malu rasanya kalau ternyata tangan ini hanya menepuk angin. Biar Tuhan saja yang tahu akan hati kami.

      Hupp! Thanks God. Aku berhasil sampai di lantai dua. Untuk itu keringatku bercucuran. Mas Jon memberikan saputangannya seraya mengecup pipiku.
      “Eti, usahamu tidak sia-sia. Tapi kalau mau naik lagi, mesti ada yang mendampingimu, ya!” Aku mengangguk. Betapa senang hatiku karena berhasil.
            Mendengar suara kruk beradu di lantai, papa menoleh ke pintu yang kebetulan terkuak.
      “Papa….!” pekikku tertahan.
      “Eti?!” papa terkejut melihatku.
      “Jon, kok Eti dibiarkan naik sendiri?”
      “Eti harus bisa, pa, dan ….. berhasil.” Aku senang sekali. Selanjutnya aku pasti bisa naik sendiri ke ruang baca tanpa menunggu-nunggu bantuan orang lain.
      “Papa ingin mendengar lagu kesayanganmu dengan gitar,” papa menggodaku. Untuk bergitar ria aku harus turun karena alat itu ada di kamarku. Di sana tersimpan pula drum dan organ. Sebelum aku beranjak, mas Jon sudah berlari menuruni tangga dan sekejap kemudian kembali.
      “Nih, gitarnya Ti!”
      “Kok, bawa dua mas?”
      “Nanti, sesudah kamu mainkan lagu kesayanganmu, aku ingin kita mainkan bersama lagu-lagu kesayangan kita.”
      “Papa yang jadi pendengar dan pengamat musik, oke?”


*    *    *


            Hatiku berdegup kencang saat aku turun dari mobil karena Denis, cowok yang akhir-akhir ini menghiasi mimpiku, datang menghampiriku. Pak Albert membantu memegang lenganku dan memasangkan tas di bahuku.
      “Makasih, pak!” ucapku sambil menenangkan degup jantungku yang semakin kencang.
      “Tasmu aku bawakan, Ti,” Denis langsung meraih tasku. Betapa gagah cowok satu ini berjalan di sisiku. Rasanya ingin begini terus. Berdampingan dan bersama selalu.
            Ketika kami sampai di lorong ruang III, cewek cantik yang sejak semester satu suka lengket di sisi Denis, mencibir dan berkata ketus: “Duh, mau-maunya kamu membawakan tas si pincang, Den. Dibayar berapa, sih?”
            Kutekan sakit hatiku yang ditorehkan oleh kata-kata Linda, cewek manis tapi bersikap judes itu. Kukatupkan bibirku erat-erat saat celotehnya menyentuh gendang telingaku.
      “Cantik sih cantik, sayang .....lumpuh!” Mana ada yang mau sama cewek disabled begitu? Mestinya tinggal di ASSERT (Yayasan Pemeliharaan Anak Cacat) sana.”
            Sekuat tenaga kukuatkan hatiku, kutulikan telingaku. “Sini, aku bawakan!” Dircia sahabatku mendekat  dan mengambil tasku dari tangan Denis.
      “Tuh kan.... dayangnya datang. Kenapa mesti kau yang bawakan tasnya, Den? Enggak serasi deh kamu jalan bareng sama si pincang jelek itu. Kayak langit dan bummm...”
      “Linda, jaga bicaramu!” tiba-tiba Bu Sisca, dosen Bahasa Potugis II sudah berada di dekat kami. Pastilah beliau mendengar kata-kata Linda tadi.
      “Eh Den, makasih dibawakan tasnya.”
            Cowok itu tersenyum amat manis dan menatapku sesaat. Hatiku pun berdesir. Kunaikkan kacamata minusku yang melorot lalu kutaruh kedua kruk penyanggah di sisi bangku.
      “Eti, ceritanya,....si Linda itu cemburu sama kamu, karena akhir-akhir ini Denis sering memperlihatkan perhatian khususnya kepada kamu,” bisik Titin di telingaku.
            Sempat juga hatiku berdendang ria, tapi sekali lagi aku tak boleh berharap terlalu banyak agar pendar-pendar asaku yang mulai bersemi saat ini, sia-sia dan hilang karena sebuah kemustahilan.
      “Ngaco ah, kamu.” Aku menimpali.
      “Tapi, kalau Denis benar-benar naksir kamu, nggak nolak, kan?” Titin mencubit manis lenganku dan menyambung katanya: “Kalau kamu nggak mau, biar buat aku aja deh.”
      “Hush! Kayak baranga aja, Tin,” bisikku membalas.
            Kedatangan Doni mengalihkan gosip kami. Dia anggota Panitia Acara Malam Dies Natalis kampus kami.
      “Don, Acaranya jadi diselenggarakan minggu depan?”
“Kayaknya diundur, Ti. Rencananya sesudah UNDIL cup biar sekalian dengan pesta Kemerdekaan 20 Mei. Kamu harus tetap mengisi acara lho, Ti. Permainan pianomu bisa diandalkan untuk memenangkan kelas kita sebab selain Malam Gembira, setiap acara dinilai para Dosen. Ini masih rahasia.”
      “Eti, kamu nyiapin berapa lagu?” sambung Titin.
      “Cuma satu!”
      “Apa lagunya?” suara lembut dari belakang yang membuat dadaku berdesir lagi dan membuahkan rona merah di wajahku. Aku sengaja tidak menoleh biar ia tidak tahu perubahan wajahku.
      “Eti, judul lagunya apa?” Sekali lagi suara lembut itu ditujukan padaku. Kupastikan itu suara Denis.
      “Rahasia dong!”
      “ Gimana kalau sekarang kamu mainkan di ruang musik ya. Aku jadi penasaran, nih!” pinta Denis.
      “Oke banget,” sambung Joe dan Titin hampir bersamaan.
            Kupandangi teman-teman sekelas. Tuhan, terima kasih. Mereka semua baik-baik. Meski keadaanku sudah berubah, tapi mereka tetap saling bercanda, terkadang ngotot-ngototan kalau merasa benar pendapatnya.....kecuali Linda. Ia selalu mencari gara-gara untuk memusuhiku.
            Denis mendekatiku dan mengajakku ke ruang musik. Saat kami melangkah ke sana, Linda muncul dari kelas Hukum dan segera menarik lengan Denis.
      “Ke Perpus yuk, Den. Biar dia jalan dengan yang lain.”
      “Kamu pergi aja, Den!” kataku menatapnya. Lelaki itu tersenyum manis.
      “Tidak! Aku mau latihan untuk acara Dies Natalis nanti,” balas Denis sambil menepis tangan Linda. Tanpa mempedulikan gumam cewek manis yang memasang wajah judes itu, kami langsung menuju ruang musik. Denis membantuku naik tangga gedung itu.
            Tiba-tiba ada seseorang yang menubrukku dari belakang. Hampir saja aku terjerembab kalau tidak segera ditangkap oleh cowok itu.
            Lagi-lagi Linda. Kuhela nafas dan kukedipkan mataku ke arah Denis agar tidak usah mempedulikan Linda. Syukurlah, ia tidak menertawakan aku.
            Begitu duduk di depan piano aku langsung menarikan jemariku di atas tuts-tuts berwarna hitam putih. Kumainkan lagu kesayanganku dan sungguh-sungguh memasuki duniaku.
            Tanpa diundang, wajahnya membayang di pelupuk mataku dengan sorot lembutnya. Kami seakan berjalan di antara bunga aneka warna, beraneka juga harumnya. Ada bunga tulip, alamanda, gladiool dan masih banyak lagi. Di situ kami saling bergandengan, penuh tawa bahagia. Ah ..... suatu kebahagiaan yang sangat ingin kuraih, namun begitu jauh jangkauannya. Tuhan, mungkinkah ini menjadi kenyataan bagiku? Tanpa sadar terasa basah di pipiku. Aku tersentak saat tepuk tangan riuh terdengar di ruang itu.
      “Eti, permainanmu bagus sekali. Lihat tuh, teman-teman terpesona!” kata Denis seraya menjulurkan saputangan kepadaku.
      “Makasih, Den!”
            Di sekelilingku sudah banyak teman yang ikut mendengarkan lagu yang baru saja kumainkan dengan penuh perasaan.
      “Eti, mainkan lagi, saya juga ingin mendengar!” Ternyata Pak Julio, dosen seni Musik kami, sudah berada dekat Joe yang duduk di bangku drum. Segera kumainkan lagu nostalgia itu lagi. Kulihat Denis mengambil gitar akustik lalu mengiringi dengan petikan mautnya.
      “Bagus sekali, Ti. Lagu ini harus ditampilkan pada Malam Gembira. Kamu bisa bermain duet seperti ini dengan Denis,” puji Pak Julio seraya memandangi kami berdua.
      “Den, nyanyi dong!” seru Jan keras-keras.
      “He-eh. Sama kamu ya Jan? Kayak Paul dan Garfunkle kan asyik.”
Aku meledek cowok memble itu. Teman-teman tergelak saat melihat Jan melotot ke arahku.
      “Nyanyi aja Den! Jangan ngeladenin Eti.”
      “Okelah! Satu lagu aja, ya,”
Ruang peraga mendadak jadi senyap.
                        ..........
                        Wherever you go, whatever you do
                        I will be right here waiting for you
                        Whatever it takes                                 ……
                        Oh how my heart breaks
                        I will be right here waiting for you.
                        .........
            Selama cowok di sisiku  ini mengalunkan suaranya yang merdu, tatap dan senyumnya sering tertuju padaku. Betulkah itu, atau .... ge-erku saja? Tapi suit-suitan mereka meyakinkan aku.
            Kurang sepuluh menit jam sembilan kami keluar dari ruang musik karena kuliah mata kuliah Ilmu Komunikasi Internasional akan dimulai. Teman-temanku pun bubar. Mata judes Linda tertancap lagi ke arahku, saat kami lewat di depan kelasnya. Dalam hati aku berbisik kepadaNya memohon kekuatan batin menghadapi sikap Linda. Betapa inginnya aku bersahabat dengannya, tetapi mengapa ia begitu angkuh dan memusuhiku??

*   *   *
            Setengah satu kurang sepuluh, kuliah terakhir selesai. Dengan tertatih dan sambil mengalungkan tas di pundakku aku melangkah minggir saat Linda lewat. Tapi entah sengaja atau tidak, terasa seseorang mendorong tubuhku begitu kuat. Kacamata minusku terpental. Kriyeeeek! Ohh...! ada yang menginjaknya. Pasti hancur....hancur benda bening itu. Aku betul-betul kehilangan keseimbangan dan jatuh tengkurap. Kurasakan keningku perih tersayat benda tajam. Dengan susah payah aku berusaha bangun. Tuhan .....Tuhan, tolonglah aku, bisik hatiku.
      “Eti ....Eti.....” suara Titin disusul Dircia.
      “Ya Tuhan. Ti, keningmu berdarah. Jan, tolong ambilkan kotak obat di ruang praktek Anak-anak FKM. Cepat!”
            Jan dan Sara beserta beberapa anak FKM langsung bertindak.

*   *   *
            Aku didudukkan di dekat pintu gerbang saat mas Jon datang tergopoh-gopoh menjemputku.
      “Ti, kenapa kamu, jatuh?” mas Jon bertanya penuh cemas.
      “Didorong dari belakang. Ayo Lin, minta maaf pada Eti!” tiba-tiba Denis muncul sambil menarik lengan cewek manis yang sangat benci padaku itu.
      “Mas Jon, dia itu yang suka jahat pada Eti,” Titin mengadu pada abangku. Kakak menatapnya sinis.
      “Ayo, minta maaf!” perintah Denis karena Linda tampak diam saja.
      “Maafkan aku, Ti!”
Aku diam dan menatapnya ragu. Baru kali ini aku mendengar permintaan maaf darinya. Padahal Linda begitu keras adatnya. Bagi dia pantang minta maaf, biar salah sekalipun. Ketika permintaan itu diulangnya lagi, aku hanya menganggukkan kepala.
            Setiba di rumah, mama merawatku dengan sabar dan telaten. Kepalaku dibalut dengan perban putih, mirip pendekar yang siap bertempur.

*   *   *
           
            Sore itu ketika aku baru saja turun dari tempat tidur, kulihat mama sedang mengupas jeruk untukku. Mama tersenyum padaku. Kuminta jeruk itu untuk kuselesaikan sendiri mengupasnya.
      “Masih pusing, Ti?” tanya mama lembut.
      “Sedikit, ma. Tapi tahan kok.”
Tiba-tiba kudengar suara piano di ruang tengah. Itu lagu kesayanganku. Siapa yang memainkannya? Bagus sekali.
      “Ma, siapa yang main piano?” senyum mama penuh arti.
      “Mama panggilkan orangnya, ya?” wanita yang kukasihi ini beranjak pergi. Beberapa menit kemudian mama kembali membawakan kejutan, katanya:
      “Ti, ......ini dia orangnya!” mama masuk. Tangannya bergelayut di lengan.......Denis! di dekatnya, mama tampak mungil sekali. Dia sendiri menatap lekat dan tepat di manik mataku.
      “Eti....”
            Serentak genggaman Denis lepas saat mas Zeca masuk ke kamarku membawa tas. Asyiiik....pasti buku!!
      “Eti, kamu boleh baca kalo udah nggak pusing lagi, ya!” aku membelalak senang kala kuraba tas itu. Betul dugaanku.
      “Makasih, mas!” kukecup dengan lembut pipinya.
      “Hei, Den, sudah lama? ..... Zeca, dia ini kan cowok Eti,” jelas mas Jon yang baru nongol sambil mengerling nakal ke arahku.
      “Hussh, ngawur mas Jon!” kucubit lengannya. Entah bagaimana merah putihnya wajahku saat itu. Mas Zeca balik melirik ke arahku.
      “Lebih asyik lagi kalau ke ruang baca papa sama dia ya,Ti? Dipeluk, digendong oleh .....” aku cubit keras-keras lengannya sehingga mas Jon meringis kesakitan.
      “Hei, hei.... keluar dong! Kalian kayak nggak tau aja. Keluar... keluar!” Itu lagi!! Papa ikut-ikutan menggoda.
      “Ti, papa akan mainkan lagu buat kalian,” papa terus bercanda.
      “Yang tidak berkepentingan diharap keluar. Juga mama. Yuk ma!” Cara papa merangkul mama yang sedikit ‘over’, membuat tawa riuh pecah berderai.
            Beberapa saat kemudian terdengar lagu kesayanganku. Aku benar-benar terharu. Oh .... orang-orang tercinta. Mereka itu pun bisa memainkan lagu kesayanganku dengan sangat baik. Air mataku menitik. Tuhan, terima kasih.
            Wajahku memerah saat Denis merangkulku dan mendekatkan bibirnya ke pipiku. Ciuman amat lembut diberikan cowok idamanku begitu tiba-tiba.
      “Aku sayang kamu, Ti,” bisiknya mesra. Desir halus kembali mengusap manis sanubariku. Namun kutekan dalam-dalam.
      “Den, teman lain kan banyak yang lebih baik daripadaku. Ntar kamu menyesal karena aku invalid.”
      “Suka-suka kan.... dan kebetulan aku suka sama kamu.”
      “Bagaimana dengan Linda?”
      “Emangnya ada hubungan apa aku dengan si Lusifer itu?”
      “Hush! Tapi dia kan cantik,” sahutku cepat.
      “Biar cantiknya kayak ratu sejagad, kalau aku nggak cinta, gimana?” rajuknya.
      “Sssst! Kututup bibirnya dengan telunjukku ketika mendengar mama berbicara dengan seseorang.  Woow, itu suara cewek!?
      “Eti, ada temanmu, nih!” mama mengantar Linda kepadaku. Dia tersenyum manis dan melangkah lincah serta duduk di bibir tempat tidurku.
      “Gimana, Ti? Sudah baik kan? Aku minta maaf ya, Ti. Juga atas kelakuanku yang dulu-dulu.” Cewek cantik itu segera mendekat dan memelukku. Kulihat mata Linda merebak.
      “Aku sungguh menyesal atas kejadian yang lalu, terutama yang kemarin. Maaf ya, Ti. Biarlah kacamatamu aku ganti.”
      “Nggak usah. Udah diganti oleh papa kok, Lin. Tuh!!” isyaratku ke arah meja kecil dekat tempat tidur.
      “Ti, kamu belum menjawab permintaan maafku. Tapi kalau memang kamu tidak mau memaafkan aku, aku terima kok. Emangnya aku yang salah.” Linda menundukkan kepalanya. Kuraih jemarinya dan kugenggam erat-erat.
      “Aku memaafkanmu, Lin!” Tiba-tiba mata itu bersinar amat gemerlap. Kupeluk Linda.
      “Terima kasih, Ti! Selain aku datang untuk minta maaf, aku ... aku juga merestui hubungan kalian. Den, maafkan aku! Jagalah Eti baik-baik. Cintailah dia setulus hatimu. Awas kalau kamu menyakiti dia!” Diraihnya jemariku, kemudian digenggamkannya di tangan Denis lalu dipererat dengan kedua tangannya.
      “Semoga abadilah hubungan kalian.”
            Sekali lagi dipeluknya aku erat-erat. Sementara itu lagu kesayanganku berkumandang lagi dari ruang tengah, diiringi saxophone dan gitar. Kupejamkan mataku menikmati lagu itu. Denis merangkulku dan berbisik lagi di telingaku:
      “Eti, aku penasaran. Setiap kali aku tanya, selalu kamu jawab ‘Lagu Kesayangan’. Sebenarnya lagu apa sih itu?”
      “When You Love Someone!”         

TAMAT


UNDIL, October 2003

No comments:

Post a Comment