Ditulis tahun 2003
Terinspirasi oleh:
Someone with Crutches in UNDIL
Sementara tanganku memainkan lagu
kesayanganku pada piano, pikiran melayang jauh saat aku masih bebas melangkah,
bergerak dan berlari kesana kemari. Tak terasa jari-jemariku berhenti menari di
atas tuts-tuts piano itu. Kuhembuskan nafas perlahan dan kuarahkan pandangan ke
tangga lantai dua. Di sanalah ruang baca papa, lengkap dan menyenangkan.
Apalagi ditambah koleksi buku abangku Jon dan Zeca. Tapi kini aku tak mampu
pergi sendiri ke sana untuk membaca dan menyepi. Kelumpuhanku ini telah
menghentikan semua langkahku, mengubah seluruh kehidupanku. Itu juga menghapus
cita-citaku menjadi wartawan, setidak-tidaknya menjadi ….. pengaranglah.
Kegiatan di alam bebas pun harus dihentikan secara total. Bagaimana bisa
mengikuti panjat tebing kalau jalanpun harus tertatih-tatih dengan dua
penyanggah lengan? Bagaimana bisa mencapai puncak kalau kaki sudah tak bisa
merasakan sakit atau pegal karena mati syaraf?
Karena kemurahan papa, mas
Jon dan Zeca sajalah aku bisa tetap datang ke perpustakaan papa, karena kemurahan
Kepala Sekolah sajalah, aku bisa terus sekolah, dan kasih sayang teman-teman,
aku bisa tetap bersahabat tanpa diejek. Sayang, ada seorang cewek temanku
sendiri, yang suka mempermalukan aku. Sampai sekarang tak pernah kupedulikan.
Yang penting aku bisa terus sekolah dan lulus. Kelumpuhan ini tidak boleh
membuatku frustrasi atau putus asa, tidak boleh menjadi penghalang usahaku
untuk maju.
Terbayang olehku sosok
jangkung, atletis dan cukup tampan. Dia pintar main gitar, jago di arena
karate, pintar di kelas lagi. Wooow, mengingat semua itu, jantungku sempat
berdegup. Memang sih dia baik kepadaku, lagi penuh perhatian. Tapi itu belum
dapat diartikan cinta ‘kan? Mungkin dia bersimpati saja kepadaku karena
perubahan diriku ini. Kami pernah akrab
saat sama-sama di SMA dulu. Tak lebih dari itu. Aku pun tidak mau berharap
lebih banyak.
“Lho, kok berhenti? Bosan main piano?”
tiba-tiba mama sudah berada di ruang tengah. Aku jadi malu karena ketahuan
sedang melamun. Aku pun menoleh. Meski sudah setengah baya tapi mama tetap
cantik. Pantas papa pun tetap awet muda dan tak pernah mengalihkan cintanya
pada wanita lain.
“Mana
bisa bosan dengan lagu kesayangan sendiri, ma!”
“Kenapa
tiba-tiba kau berhenti main? Nah, pasti anak mama yang satu ini lagi jatuh
cinta ya!” mama mulai menggoda. Pertanyaan mama ini seketika membuat wajahku
merah jambu.
“Akhir-akhir
ini mama sering perhatikan kamu duduk di tangga itu atau di taman belakang
sambil melamun. Bahkan pertanyaan mama sering tak terjawab. Eti, betul kamu
sedang jatuh cinta?” Kupikir mama yakin benar akan hal ini, sementara aku
bengong saja.
“Eh,
ditanya mama kok begitu. Betul ya, kamu sedang dilanda cinta? Siapa yang kena
panahnya, Ti?”
Mendengar
kata-kata mama aku tersenyum saja, namun juga tersipu-sipu. Ah, aku saja yang
mengartikan itu adalah cinta. Bak pungguk merindukan bulan. It’s impossible!
Aku menarik nafas, kemudian membuangnya perlahan seraya menggelengkan kepala.
“Eti….!”
Sekali lagi mama menyentuh pundakku dengan lembut.
“Mana
ada sih, ma, yang mau sama cewek invalid seperti Eti ini?”
Mataku jatuh menatap kedua kaki yang mulai
mengecil karena syarafnya tak berfungsi lagi.
“Duh….,
anak mama yang cantik ini, kok jadi minder begini? Eti kan punya banyak
kelebihan yang lain. Lagipula kalau kamu rajin berlatih, kata dokter, kamu bisa
berjalan lagi.”
“Ah,
mama … Cuma mau menghibur Eti saja, ya! Syaraf sudah mati, mana mungkin bisa
melangkah lagi? Itu ‘kan kalau belum terlalu parah.”
“Sudah
malam Ti, lebih baik kamu pergi tidur,” mama mencoba mengusir kepedihanku. Tapi
aku punya hasrat lain. Aku ingin bikin kejutan buat papa tercinta. Segera
kuraih sepasang kruk penyanggah kedua lenganku agar aku bisa melangkah tanpa
menggunakan kursi roda. Memang kurang bebas rasanya.
“Papa
di mana, ma?”
“Di
ruang baca.”
Aku melirik ke atas. Ada kejutan yang ingin
kuberikan pada papa. Sebenarnya aku tak bisa ke sana, tanpa bantuan orang lain.
Tapi akan kucoba. Meski perlahan, pasti aku bisa, begitu kata batinku.
“Ma, mas Zeca dan Jon sudah pulang?”
“Kamu
ini selalu menanyakan mereka.”
“Iya…. Mama ‘kan selalu ada. Jadi nggak
usah dicari udah stand by di rumah.
Gitu ‘kan ma?” senyum manisku tertuju pada mama. Sementara itu aku sudah sampai
di depan tangga.
“Hei,
kamu mau ke mana, Ti?” seru mama dengan cemas.
“Ke
papa. Sudah lama Eti nggak baca. Kata mas Zeca kemarin baru saja membeli buku.
Pengen lihat deh, ma. Buku apa saja yang dibelinya?” Mama menahan lenganku.
“Biar
mama aja yang mengambilkan untukmu.”
“Nggak
usah ma! Eti pengen belajar naik
sendiri,” kataku sambil berusaha naik sendiri ke anak tangga pertama. Masak
sih, kalau ingin ke ruang baca harus dibantu orang lain. Aku harus bisa
sendiri.
“Eti,
jangan!”
“Jangan
khawatir deh ma! Eti akan naik dengan hati-hati.”
Hup! Aku mampu naik ke anak tangga ketiga. Aku
menoleh ke arah mama seraya melempar senyumku yang termanis.
“Hei,
hei, Eti, apa-apaan kamu ini?” tiba-tiba mas Jon muncul dari pintu samping dan
segera berlari ke arah tangga dan meraih pundakku.
“Aku
mau belajar naik sendiri, mas.”
“Anak
tangganya banyak. Nanti kamu capek, Ti. Ayo kugendong kamu kalau mau ke sana.”
Mas Jon kakak sulungku segera akan mengangkat tubuhku. Tapi kutolak secara
halus.
“Mas,
aku bisa naik sendiri. Aku harus bisa, tanpa menunggu mas Jon atau mas Zeca.”
Mas Jon mengecup keningku lembut.
“Kamu
cewek tunggal, tapi sangat tegar menghadapi musibah yang menimpamu ini dan tak
pernah menyesali nasib, adik manis!”
“Semua
ini aku dapat dari mama, mas. Trims deh atas pujianmu.” Sengaja suaraku
melirih: “sayang, yang memuji abangku sendiri….”
Serasa
kehangatan menyebar di seluruh wajahku. Mengapa jantung ini berdebar manis kala
seraut wajah singgah di pelupuk mata?
“He Ti,
ada apa? Weleh, weleh. Pasti kamu lagi jatuh cinta, ya,”
“Hush!
Ngawur ah, mas,” kataku tersipu malu.
“Malu-malu
kucing nih ye. Siapa sih yang berhasil memikat hatimu, non?”
Kualihkan pandanganku pada sebuah lukisan yang
digantungkan di dekat situ. Mataku menerawang jauh.
“Nggak
ada mas!”
Selagi berkata begitu, tiba-tiba hatiku terasa
perih. Ah … cinta…. Di antara ada dan tiada. Kupejamkan kedua mata. Tak ada
yang boleh tahu akan hatiku ini sebelum fakta berbicara. Malu rasanya kalau
ternyata tangan ini hanya menepuk angin. Biar Tuhan saja yang tahu akan hati
kami.
Hupp!
Thanks God. Aku berhasil sampai di lantai dua. Untuk itu keringatku bercucuran.
Mas Jon memberikan saputangannya seraya mengecup pipiku.
“Eti,
usahamu tidak sia-sia. Tapi kalau mau naik lagi, mesti ada yang mendampingimu,
ya!” Aku mengangguk. Betapa senang hatiku karena berhasil.
Mendengar
suara kruk beradu di lantai, papa menoleh ke pintu yang kebetulan terkuak.
“Papa….!”
pekikku tertahan.
“Eti?!”
papa terkejut melihatku.
“Jon,
kok Eti dibiarkan naik sendiri?”
“Eti
harus bisa, pa, dan ….. berhasil.” Aku senang sekali. Selanjutnya aku pasti
bisa naik sendiri ke ruang baca tanpa menunggu-nunggu bantuan orang lain.
“Papa
ingin mendengar lagu kesayanganmu dengan gitar,” papa menggodaku. Untuk
bergitar ria aku harus turun karena alat itu ada di kamarku. Di sana tersimpan
pula drum dan organ. Sebelum aku beranjak, mas Jon sudah berlari menuruni
tangga dan sekejap kemudian kembali.
“Nih,
gitarnya Ti!”
“Kok,
bawa dua mas?”
“Nanti,
sesudah kamu mainkan lagu kesayanganmu, aku ingin kita mainkan bersama
lagu-lagu kesayangan kita.”
“Papa
yang jadi pendengar dan pengamat musik, oke?”
*
* *
Hatiku berdegup kencang saat aku
turun dari mobil karena Denis, cowok yang akhir-akhir ini menghiasi mimpiku,
datang menghampiriku. Pak Albert membantu memegang lenganku dan memasangkan tas
di bahuku.
“Makasih, pak!” ucapku sambil menenangkan
degup jantungku yang semakin kencang.
“Tasmu aku bawakan, Ti,” Denis langsung
meraih tasku. Betapa gagah cowok satu ini berjalan di sisiku. Rasanya ingin
begini terus. Berdampingan dan bersama selalu.
Ketika kami sampai di lorong ruang
III, cewek cantik yang sejak semester satu suka lengket di sisi Denis, mencibir
dan berkata ketus: “Duh, mau-maunya kamu membawakan tas si pincang, Den.
Dibayar berapa, sih?”
Kutekan sakit hatiku yang ditorehkan
oleh kata-kata Linda, cewek manis tapi bersikap judes itu. Kukatupkan bibirku
erat-erat saat celotehnya menyentuh gendang telingaku.
“Cantik sih cantik, sayang .....lumpuh!”
Mana ada yang mau sama cewek disabled begitu? Mestinya tinggal di ASSERT (Yayasan
Pemeliharaan Anak Cacat) sana.”
Sekuat tenaga kukuatkan hatiku,
kutulikan telingaku. “Sini, aku bawakan!” Dircia sahabatku mendekat dan mengambil tasku dari tangan Denis.
“Tuh kan.... dayangnya datang. Kenapa
mesti kau yang bawakan tasnya, Den? Enggak serasi deh kamu jalan bareng sama si
pincang jelek itu. Kayak langit dan bummm...”
“Linda, jaga bicaramu!” tiba-tiba Bu
Sisca, dosen Bahasa Potugis II sudah berada di dekat kami. Pastilah beliau
mendengar kata-kata Linda tadi.
“Eh Den, makasih dibawakan tasnya.”
Cowok
itu tersenyum amat manis dan menatapku sesaat. Hatiku pun berdesir. Kunaikkan
kacamata minusku yang melorot lalu kutaruh kedua kruk penyanggah di sisi
bangku.
“Eti, ceritanya,....si Linda itu cemburu
sama kamu, karena akhir-akhir ini Denis sering memperlihatkan perhatian
khususnya kepada kamu,” bisik Titin di telingaku.
Sempat juga hatiku berdendang ria,
tapi sekali lagi aku tak boleh berharap terlalu banyak agar pendar-pendar asaku
yang mulai bersemi saat ini, sia-sia dan hilang karena sebuah kemustahilan.
“Ngaco ah, kamu.” Aku menimpali.
“Tapi, kalau Denis benar-benar naksir
kamu, nggak nolak, kan?” Titin mencubit manis lenganku dan menyambung katanya:
“Kalau kamu nggak mau, biar buat aku aja deh.”
“Hush! Kayak baranga aja, Tin,” bisikku
membalas.
Kedatangan Doni mengalihkan gosip
kami. Dia anggota Panitia Acara Malam Dies Natalis kampus kami.
“Don, Acaranya jadi diselenggarakan minggu
depan?”
“Kayaknya diundur, Ti. Rencananya sesudah UNDIL cup biar sekalian dengan
pesta Kemerdekaan 20 Mei. Kamu harus tetap mengisi acara lho, Ti. Permainan
pianomu bisa diandalkan untuk memenangkan kelas kita sebab selain Malam
Gembira, setiap acara dinilai para Dosen. Ini masih
rahasia.”
“Eti, kamu nyiapin berapa lagu?” sambung
Titin.
“Cuma satu!”
“Apa lagunya?” suara lembut dari belakang
yang membuat dadaku berdesir lagi dan membuahkan rona merah di wajahku. Aku
sengaja tidak menoleh biar ia tidak tahu perubahan wajahku.
“Eti, judul lagunya apa?” Sekali lagi
suara lembut itu ditujukan padaku. Kupastikan itu suara Denis.
“Rahasia dong!”
“ Gimana kalau sekarang kamu mainkan di
ruang musik ya. Aku jadi penasaran, nih!” pinta Denis.
“Oke banget,” sambung Joe dan Titin hampir
bersamaan.
Kupandangi teman-teman sekelas.
Tuhan, terima kasih. Mereka semua baik-baik. Meski keadaanku sudah berubah,
tapi mereka tetap saling bercanda, terkadang ngotot-ngototan kalau merasa benar
pendapatnya.....kecuali Linda. Ia selalu mencari gara-gara untuk memusuhiku.
Denis mendekatiku dan mengajakku ke
ruang musik. Saat kami melangkah ke sana, Linda muncul dari kelas Hukum dan
segera menarik lengan Denis.
“Ke Perpus yuk, Den. Biar dia jalan dengan
yang lain.”
“Kamu pergi aja, Den!” kataku menatapnya.
Lelaki itu tersenyum manis.
“Tidak! Aku mau latihan untuk acara Dies
Natalis nanti,” balas Denis sambil menepis tangan Linda. Tanpa mempedulikan
gumam cewek manis yang memasang wajah judes itu, kami langsung menuju ruang
musik. Denis membantuku naik tangga gedung itu.
Tiba-tiba ada seseorang yang
menubrukku dari belakang. Hampir saja aku terjerembab kalau tidak segera
ditangkap oleh cowok itu.
Lagi-lagi Linda. Kuhela nafas dan
kukedipkan mataku ke arah Denis agar tidak usah mempedulikan Linda. Syukurlah,
ia tidak menertawakan aku.
Begitu duduk di depan piano aku langsung
menarikan jemariku di atas tuts-tuts berwarna hitam putih. Kumainkan lagu
kesayanganku dan sungguh-sungguh memasuki duniaku.
Tanpa diundang, wajahnya membayang
di pelupuk mataku dengan sorot lembutnya. Kami seakan berjalan di antara bunga
aneka warna, beraneka juga harumnya. Ada bunga tulip, alamanda, gladiool dan
masih banyak lagi. Di situ kami saling bergandengan, penuh tawa bahagia. Ah
..... suatu kebahagiaan yang sangat ingin kuraih, namun begitu jauh
jangkauannya. Tuhan, mungkinkah ini menjadi kenyataan bagiku? Tanpa sadar
terasa basah di pipiku. Aku tersentak saat tepuk tangan riuh terdengar di ruang
itu.
“Eti, permainanmu bagus sekali. Lihat tuh,
teman-teman terpesona!” kata Denis seraya menjulurkan saputangan kepadaku.
“Makasih, Den!”
Di sekelilingku sudah banyak teman
yang ikut mendengarkan lagu yang baru saja kumainkan dengan penuh perasaan.
“Eti, mainkan lagi, saya juga ingin
mendengar!” Ternyata Pak Julio, dosen seni Musik kami, sudah berada dekat Joe
yang duduk di bangku drum. Segera kumainkan lagu nostalgia itu lagi. Kulihat
Denis mengambil gitar akustik lalu mengiringi dengan petikan mautnya.
“Bagus sekali, Ti. Lagu ini harus
ditampilkan pada Malam Gembira. Kamu bisa bermain duet seperti ini dengan
Denis,” puji Pak Julio seraya memandangi kami berdua.
“Den, nyanyi dong!” seru Jan keras-keras.
“He-eh. Sama kamu ya Jan? Kayak Paul dan
Garfunkle kan asyik.”
Aku meledek
cowok memble itu. Teman-teman tergelak saat melihat Jan melotot ke arahku.
“Nyanyi aja Den! Jangan ngeladenin Eti.”
“Okelah! Satu lagu aja, ya,”
Ruang peraga
mendadak jadi senyap.
..........
Wherever you go, whatever you do
I will be right here
waiting for you
Whatever it takes ……
Oh how my heart breaks
I will be right here
waiting for you.
.........
Selama cowok di sisiku ini mengalunkan suaranya yang merdu, tatap
dan senyumnya sering tertuju padaku. Betulkah itu, atau .... ge-erku saja? Tapi
suit-suitan mereka meyakinkan aku.
Kurang sepuluh menit jam sembilan
kami keluar dari ruang musik karena kuliah mata kuliah Ilmu Komunikasi
Internasional akan dimulai. Teman-temanku pun bubar. Mata judes Linda tertancap
lagi ke arahku, saat kami lewat di depan kelasnya. Dalam hati aku berbisik
kepadaNya memohon kekuatan batin menghadapi sikap Linda. Betapa inginnya aku
bersahabat dengannya, tetapi mengapa ia begitu angkuh dan memusuhiku??
* * *
Setengah satu kurang sepuluh, kuliah
terakhir selesai. Dengan tertatih dan sambil mengalungkan tas di pundakku aku
melangkah minggir saat Linda lewat. Tapi entah sengaja atau tidak, terasa
seseorang mendorong tubuhku begitu kuat. Kacamata minusku terpental. Kriyeeeek!
Ohh...! ada yang menginjaknya. Pasti hancur....hancur benda bening itu. Aku
betul-betul kehilangan keseimbangan dan jatuh tengkurap. Kurasakan keningku
perih tersayat benda tajam. Dengan susah payah aku berusaha bangun. Tuhan
.....Tuhan, tolonglah aku, bisik hatiku.
“Eti ....Eti.....” suara Titin disusul
Dircia.
“Ya Tuhan. Ti, keningmu berdarah. Jan,
tolong ambilkan kotak obat di ruang praktek Anak-anak FKM. Cepat!”
Jan dan Sara beserta beberapa anak
FKM langsung bertindak.
* * *
Aku didudukkan di dekat pintu
gerbang saat mas Jon datang tergopoh-gopoh menjemputku.
“Ti, kenapa kamu, jatuh?” mas Jon bertanya
penuh cemas.
“Didorong dari belakang. Ayo Lin, minta
maaf pada Eti!” tiba-tiba Denis muncul sambil menarik lengan cewek manis yang
sangat benci padaku itu.
“Mas Jon, dia itu yang suka jahat pada
Eti,” Titin mengadu pada abangku. Kakak menatapnya sinis.
“Ayo, minta maaf!” perintah Denis karena
Linda tampak diam saja.
“Maafkan aku, Ti!”
Aku diam dan
menatapnya ragu. Baru kali ini aku mendengar permintaan maaf darinya. Padahal
Linda begitu keras adatnya. Bagi dia pantang minta maaf, biar salah sekalipun.
Ketika permintaan itu diulangnya lagi, aku hanya menganggukkan kepala.
Setiba di rumah, mama merawatku
dengan sabar dan telaten. Kepalaku dibalut dengan perban putih, mirip pendekar
yang siap bertempur.
* * *
Sore itu ketika aku baru saja turun
dari tempat tidur, kulihat mama sedang mengupas jeruk untukku. Mama tersenyum
padaku. Kuminta jeruk itu untuk kuselesaikan sendiri mengupasnya.
“Masih pusing, Ti?” tanya mama lembut.
“Sedikit, ma. Tapi tahan kok.”
Tiba-tiba
kudengar suara piano di ruang tengah. Itu lagu kesayanganku. Siapa yang
memainkannya? Bagus sekali.
“Ma, siapa yang main piano?” senyum mama
penuh arti.
“Mama panggilkan orangnya, ya?” wanita
yang kukasihi ini beranjak pergi. Beberapa menit kemudian mama kembali
membawakan kejutan, katanya:
“Ti, ......ini dia orangnya!” mama masuk.
Tangannya bergelayut di lengan.......Denis! di dekatnya, mama tampak mungil
sekali. Dia sendiri menatap lekat dan tepat di manik mataku.
“Eti....”
Serentak genggaman Denis lepas saat
mas Zeca masuk ke kamarku membawa tas. Asyiiik....pasti buku!!
“Eti, kamu boleh baca kalo udah nggak
pusing lagi, ya!” aku membelalak senang kala kuraba tas itu. Betul dugaanku.
“Makasih, mas!” kukecup dengan lembut
pipinya.
“Hei, Den, sudah lama? ..... Zeca, dia ini
kan cowok Eti,” jelas mas Jon yang baru nongol sambil mengerling nakal ke
arahku.
“Hussh, ngawur mas Jon!” kucubit
lengannya. Entah bagaimana merah putihnya wajahku saat itu. Mas Zeca balik
melirik ke arahku.
“Lebih asyik lagi kalau ke ruang baca papa
sama dia ya,Ti? Dipeluk, digendong oleh .....” aku cubit keras-keras lengannya
sehingga mas Jon meringis kesakitan.
“Hei, hei.... keluar dong! Kalian kayak
nggak tau aja. Keluar... keluar!” Itu lagi!! Papa ikut-ikutan menggoda.
“Ti, papa akan mainkan lagu buat kalian,”
papa terus bercanda.
“Yang tidak berkepentingan diharap keluar.
Juga mama. Yuk ma!” Cara papa merangkul mama yang sedikit ‘over’, membuat tawa
riuh pecah berderai.
Beberapa saat kemudian terdengar
lagu kesayanganku. Aku benar-benar terharu. Oh .... orang-orang tercinta.
Mereka itu pun bisa memainkan lagu kesayanganku dengan sangat baik. Air mataku
menitik. Tuhan, terima kasih.
Wajahku memerah saat Denis
merangkulku dan mendekatkan bibirnya ke pipiku. Ciuman amat lembut diberikan
cowok idamanku begitu tiba-tiba.
“Aku sayang kamu, Ti,” bisiknya mesra.
Desir halus kembali mengusap manis sanubariku. Namun kutekan dalam-dalam.
“Den, teman lain kan banyak yang lebih
baik daripadaku. Ntar kamu menyesal karena aku invalid.”
“Suka-suka kan.... dan kebetulan aku suka
sama kamu.”
“Bagaimana dengan Linda?”
“Emangnya ada hubungan apa aku dengan si
Lusifer itu?”
“Hush! Tapi dia kan cantik,” sahutku
cepat.
“Biar cantiknya kayak ratu sejagad, kalau
aku nggak cinta, gimana?” rajuknya.
“Sssst! Kututup bibirnya dengan telunjukku
ketika mendengar mama berbicara dengan seseorang. Woow, itu suara cewek!?
“Eti, ada temanmu, nih!” mama mengantar
Linda kepadaku. Dia tersenyum manis dan melangkah lincah serta duduk di bibir
tempat tidurku.
“Gimana, Ti? Sudah baik kan? Aku minta
maaf ya, Ti. Juga atas kelakuanku yang dulu-dulu.” Cewek cantik itu segera
mendekat dan memelukku. Kulihat mata Linda merebak.
“Aku sungguh menyesal atas kejadian yang
lalu, terutama yang kemarin. Maaf ya, Ti. Biarlah kacamatamu aku ganti.”
“Nggak usah. Udah diganti oleh papa kok,
Lin. Tuh!!” isyaratku ke arah meja kecil dekat tempat tidur.
“Ti, kamu belum menjawab permintaan
maafku. Tapi kalau memang kamu tidak mau memaafkan aku, aku terima kok.
Emangnya aku yang salah.” Linda menundukkan kepalanya. Kuraih jemarinya dan
kugenggam erat-erat.
“Aku memaafkanmu, Lin!” Tiba-tiba mata itu
bersinar amat gemerlap. Kupeluk Linda.
“Terima kasih, Ti! Selain aku datang untuk
minta maaf, aku ... aku juga merestui hubungan kalian. Den, maafkan aku!
Jagalah Eti baik-baik. Cintailah dia setulus hatimu. Awas kalau kamu menyakiti
dia!” Diraihnya jemariku, kemudian digenggamkannya di tangan Denis lalu
dipererat dengan kedua tangannya.
“Semoga abadilah hubungan kalian.”
Sekali lagi dipeluknya aku
erat-erat. Sementara itu lagu kesayanganku berkumandang lagi dari ruang tengah,
diiringi saxophone dan gitar. Kupejamkan mataku menikmati lagu itu. Denis
merangkulku dan berbisik lagi di telingaku:
“Eti, aku penasaran. Setiap kali aku
tanya, selalu kamu jawab ‘Lagu Kesayangan’. Sebenarnya lagu apa sih itu?”
“When You Love Someone!”
TAMAT
UNDIL, October 2003
No comments:
Post a Comment