Saturday, November 9, 2013

When you Love Someone


Ditulis tahun 2003
Terinspirasi oleh: Someone with Crutches in UNDIL
           
Sementara tanganku memainkan lagu kesayanganku pada piano, pikiran melayang jauh saat aku masih bebas melangkah, bergerak dan berlari kesana kemari. Tak terasa jari-jemariku berhenti menari di atas tuts-tuts piano itu. Kuhembuskan nafas perlahan dan kuarahkan pandangan ke tangga lantai dua. Di sanalah ruang baca papa, lengkap dan menyenangkan. Apalagi ditambah koleksi buku abangku Jon dan Zeca. Tapi kini aku tak mampu pergi sendiri ke sana untuk membaca dan menyepi. Kelumpuhanku ini telah menghentikan semua langkahku, mengubah seluruh kehidupanku. Itu juga menghapus cita-citaku menjadi wartawan, setidak-tidaknya menjadi ….. pengaranglah. Kegiatan di alam bebas pun harus dihentikan secara total. Bagaimana bisa mengikuti panjat tebing kalau jalanpun harus tertatih-tatih dengan dua penyanggah lengan? Bagaimana bisa mencapai puncak kalau kaki sudah tak bisa merasakan sakit atau pegal karena mati syaraf?
            Karena kemurahan papa, mas Jon dan Zeca sajalah aku bisa tetap datang ke perpustakaan papa, karena kemurahan Kepala Sekolah sajalah, aku bisa terus sekolah, dan kasih sayang teman-teman, aku bisa tetap bersahabat tanpa diejek. Sayang, ada seorang cewek temanku sendiri, yang suka mempermalukan aku. Sampai sekarang tak pernah kupedulikan. Yang penting aku bisa terus sekolah dan lulus. Kelumpuhan ini tidak boleh membuatku frustrasi atau putus asa, tidak boleh menjadi penghalang usahaku untuk maju.
            Terbayang olehku sosok jangkung, atletis dan cukup tampan. Dia pintar main gitar, jago di arena karate, pintar di kelas lagi. Wooow, mengingat semua itu, jantungku sempat berdegup. Memang sih dia baik kepadaku, lagi penuh perhatian. Tapi itu belum dapat diartikan cinta ‘kan? Mungkin dia bersimpati saja kepadaku karena perubahan diriku  ini. Kami pernah akrab saat sama-sama di SMA dulu. Tak lebih dari itu. Aku pun tidak mau berharap lebih banyak.
      “Lho, kok berhenti? Bosan main piano?” tiba-tiba mama sudah berada di ruang tengah. Aku jadi malu karena ketahuan sedang melamun. Aku pun menoleh. Meski sudah setengah baya tapi mama tetap cantik. Pantas papa pun tetap awet muda dan tak pernah mengalihkan cintanya pada wanita lain.
      “Mana bisa bosan dengan lagu kesayangan sendiri, ma!”
    “Kenapa tiba-tiba kau berhenti main? Nah, pasti anak mama yang satu ini lagi jatuh cinta ya!” mama mulai menggoda. Pertanyaan mama ini seketika membuat wajahku merah jambu.
      “Akhir-akhir ini mama sering perhatikan kamu duduk di tangga itu atau di taman belakang sambil melamun. Bahkan pertanyaan mama sering tak terjawab. Eti, betul kamu sedang jatuh cinta?” Kupikir mama yakin benar akan hal ini, sementara aku bengong saja.
      “Eh, ditanya mama kok begitu. Betul ya, kamu sedang dilanda cinta? Siapa yang kena panahnya, Ti?”
            Mendengar kata-kata mama aku tersenyum saja, namun juga tersipu-sipu. Ah, aku saja yang mengartikan itu adalah cinta. Bak pungguk merindukan bulan. It’s impossible! Aku menarik nafas, kemudian membuangnya perlahan seraya menggelengkan kepala.
      “Eti….!” Sekali lagi mama menyentuh pundakku dengan lembut.
      “Mana ada sih, ma, yang mau sama cewek invalid seperti Eti ini?”
Mataku jatuh menatap kedua kaki yang mulai mengecil karena syarafnya tak berfungsi lagi.
      “Duh…., anak mama yang cantik ini, kok jadi minder begini? Eti kan punya banyak kelebihan yang lain. Lagipula kalau kamu rajin berlatih, kata dokter, kamu bisa berjalan lagi.”
      “Ah, mama … Cuma mau menghibur Eti saja, ya! Syaraf sudah mati, mana mungkin bisa melangkah lagi? Itu ‘kan kalau belum terlalu parah.”
      “Sudah malam Ti, lebih baik kamu pergi tidur,” mama mencoba mengusir kepedihanku. Tapi aku punya hasrat lain. Aku ingin bikin kejutan buat papa tercinta. Segera kuraih sepasang kruk penyanggah kedua lenganku agar aku bisa melangkah tanpa menggunakan kursi roda. Memang kurang bebas rasanya.
      “Papa di mana, ma?”
      “Di ruang baca.”
Aku melirik ke atas. Ada kejutan yang ingin kuberikan pada papa. Sebenarnya aku tak bisa ke sana, tanpa bantuan orang lain. Tapi akan kucoba. Meski perlahan, pasti aku bisa, begitu kata batinku.
      “Ma, mas Zeca dan Jon sudah pulang?”
      “Kamu ini selalu menanyakan mereka.”
      Iya…. Mama ‘kan selalu ada. Jadi nggak usah dicari udah stand by di rumah. Gitu ‘kan ma?” senyum manisku tertuju pada mama. Sementara itu aku sudah sampai di depan tangga.
      “Hei, kamu mau ke mana, Ti?” seru mama dengan cemas.
      “Ke papa. Sudah lama Eti nggak baca. Kata mas Zeca kemarin baru saja membeli buku. Pengen lihat deh, ma. Buku apa saja yang dibelinya?” Mama menahan lenganku.
      “Biar mama aja yang mengambilkan untukmu.”
      “Nggak usah  ma! Eti pengen belajar naik sendiri,” kataku sambil berusaha naik sendiri ke anak tangga pertama. Masak sih, kalau ingin ke ruang baca harus dibantu orang lain. Aku harus bisa sendiri.
      “Eti, jangan!”
      “Jangan khawatir deh ma! Eti akan naik dengan hati-hati.”
Hup! Aku mampu naik ke anak tangga ketiga. Aku menoleh ke arah mama seraya melempar senyumku yang termanis.
      “Hei, hei, Eti, apa-apaan kamu ini?” tiba-tiba mas Jon muncul dari pintu samping dan segera berlari ke arah tangga dan meraih pundakku.
      “Aku mau belajar naik sendiri, mas.”
      “Anak tangganya banyak. Nanti kamu capek, Ti. Ayo kugendong kamu kalau mau ke sana.” Mas Jon kakak sulungku segera akan mengangkat tubuhku. Tapi kutolak secara halus.
      “Mas, aku bisa naik sendiri. Aku harus bisa, tanpa menunggu mas Jon atau mas Zeca.” Mas Jon mengecup keningku lembut.
      “Kamu cewek tunggal, tapi sangat tegar menghadapi musibah yang menimpamu ini dan tak pernah menyesali nasib, adik manis!”
      “Semua ini aku dapat dari mama, mas. Trims deh atas pujianmu.” Sengaja suaraku melirih: “sayang, yang memuji abangku sendiri….”
            Serasa kehangatan menyebar di seluruh wajahku. Mengapa jantung ini berdebar manis kala seraut wajah singgah di pelupuk mata?
      “He Ti, ada apa? Weleh, weleh. Pasti kamu lagi jatuh cinta, ya,”
      “Hush! Ngawur ah, mas,” kataku tersipu malu.
      “Malu-malu kucing nih ye. Siapa sih yang berhasil memikat hatimu, non?”
Kualihkan pandanganku pada sebuah lukisan yang digantungkan di dekat situ. Mataku menerawang jauh.
      “Nggak ada mas!”
Selagi berkata begitu, tiba-tiba hatiku terasa perih. Ah … cinta…. Di antara ada dan tiada. Kupejamkan kedua mata. Tak ada yang boleh tahu akan hatiku ini sebelum fakta berbicara. Malu rasanya kalau ternyata tangan ini hanya menepuk angin. Biar Tuhan saja yang tahu akan hati kami.

      Hupp! Thanks God. Aku berhasil sampai di lantai dua. Untuk itu keringatku bercucuran. Mas Jon memberikan saputangannya seraya mengecup pipiku.
      “Eti, usahamu tidak sia-sia. Tapi kalau mau naik lagi, mesti ada yang mendampingimu, ya!” Aku mengangguk. Betapa senang hatiku karena berhasil.
            Mendengar suara kruk beradu di lantai, papa menoleh ke pintu yang kebetulan terkuak.
      “Papa….!” pekikku tertahan.
      “Eti?!” papa terkejut melihatku.
      “Jon, kok Eti dibiarkan naik sendiri?”
      “Eti harus bisa, pa, dan ….. berhasil.” Aku senang sekali. Selanjutnya aku pasti bisa naik sendiri ke ruang baca tanpa menunggu-nunggu bantuan orang lain.
      “Papa ingin mendengar lagu kesayanganmu dengan gitar,” papa menggodaku. Untuk bergitar ria aku harus turun karena alat itu ada di kamarku. Di sana tersimpan pula drum dan organ. Sebelum aku beranjak, mas Jon sudah berlari menuruni tangga dan sekejap kemudian kembali.
      “Nih, gitarnya Ti!”
      “Kok, bawa dua mas?”
      “Nanti, sesudah kamu mainkan lagu kesayanganmu, aku ingin kita mainkan bersama lagu-lagu kesayangan kita.”
      “Papa yang jadi pendengar dan pengamat musik, oke?”


*    *    *


            Hatiku berdegup kencang saat aku turun dari mobil karena Denis, cowok yang akhir-akhir ini menghiasi mimpiku, datang menghampiriku. Pak Albert membantu memegang lenganku dan memasangkan tas di bahuku.
      “Makasih, pak!” ucapku sambil menenangkan degup jantungku yang semakin kencang.
      “Tasmu aku bawakan, Ti,” Denis langsung meraih tasku. Betapa gagah cowok satu ini berjalan di sisiku. Rasanya ingin begini terus. Berdampingan dan bersama selalu.
            Ketika kami sampai di lorong ruang III, cewek cantik yang sejak semester satu suka lengket di sisi Denis, mencibir dan berkata ketus: “Duh, mau-maunya kamu membawakan tas si pincang, Den. Dibayar berapa, sih?”
            Kutekan sakit hatiku yang ditorehkan oleh kata-kata Linda, cewek manis tapi bersikap judes itu. Kukatupkan bibirku erat-erat saat celotehnya menyentuh gendang telingaku.
      “Cantik sih cantik, sayang .....lumpuh!” Mana ada yang mau sama cewek disabled begitu? Mestinya tinggal di ASSERT (Yayasan Pemeliharaan Anak Cacat) sana.”
            Sekuat tenaga kukuatkan hatiku, kutulikan telingaku. “Sini, aku bawakan!” Dircia sahabatku mendekat  dan mengambil tasku dari tangan Denis.
      “Tuh kan.... dayangnya datang. Kenapa mesti kau yang bawakan tasnya, Den? Enggak serasi deh kamu jalan bareng sama si pincang jelek itu. Kayak langit dan bummm...”
      “Linda, jaga bicaramu!” tiba-tiba Bu Sisca, dosen Bahasa Potugis II sudah berada di dekat kami. Pastilah beliau mendengar kata-kata Linda tadi.
      “Eh Den, makasih dibawakan tasnya.”
            Cowok itu tersenyum amat manis dan menatapku sesaat. Hatiku pun berdesir. Kunaikkan kacamata minusku yang melorot lalu kutaruh kedua kruk penyanggah di sisi bangku.
      “Eti, ceritanya,....si Linda itu cemburu sama kamu, karena akhir-akhir ini Denis sering memperlihatkan perhatian khususnya kepada kamu,” bisik Titin di telingaku.
            Sempat juga hatiku berdendang ria, tapi sekali lagi aku tak boleh berharap terlalu banyak agar pendar-pendar asaku yang mulai bersemi saat ini, sia-sia dan hilang karena sebuah kemustahilan.
      “Ngaco ah, kamu.” Aku menimpali.
      “Tapi, kalau Denis benar-benar naksir kamu, nggak nolak, kan?” Titin mencubit manis lenganku dan menyambung katanya: “Kalau kamu nggak mau, biar buat aku aja deh.”
      “Hush! Kayak baranga aja, Tin,” bisikku membalas.
            Kedatangan Doni mengalihkan gosip kami. Dia anggota Panitia Acara Malam Dies Natalis kampus kami.
      “Don, Acaranya jadi diselenggarakan minggu depan?”
“Kayaknya diundur, Ti. Rencananya sesudah UNDIL cup biar sekalian dengan pesta Kemerdekaan 20 Mei. Kamu harus tetap mengisi acara lho, Ti. Permainan pianomu bisa diandalkan untuk memenangkan kelas kita sebab selain Malam Gembira, setiap acara dinilai para Dosen. Ini masih rahasia.”
      “Eti, kamu nyiapin berapa lagu?” sambung Titin.
      “Cuma satu!”
      “Apa lagunya?” suara lembut dari belakang yang membuat dadaku berdesir lagi dan membuahkan rona merah di wajahku. Aku sengaja tidak menoleh biar ia tidak tahu perubahan wajahku.
      “Eti, judul lagunya apa?” Sekali lagi suara lembut itu ditujukan padaku. Kupastikan itu suara Denis.
      “Rahasia dong!”
      “ Gimana kalau sekarang kamu mainkan di ruang musik ya. Aku jadi penasaran, nih!” pinta Denis.
      “Oke banget,” sambung Joe dan Titin hampir bersamaan.
            Kupandangi teman-teman sekelas. Tuhan, terima kasih. Mereka semua baik-baik. Meski keadaanku sudah berubah, tapi mereka tetap saling bercanda, terkadang ngotot-ngototan kalau merasa benar pendapatnya.....kecuali Linda. Ia selalu mencari gara-gara untuk memusuhiku.
            Denis mendekatiku dan mengajakku ke ruang musik. Saat kami melangkah ke sana, Linda muncul dari kelas Hukum dan segera menarik lengan Denis.
      “Ke Perpus yuk, Den. Biar dia jalan dengan yang lain.”
      “Kamu pergi aja, Den!” kataku menatapnya. Lelaki itu tersenyum manis.
      “Tidak! Aku mau latihan untuk acara Dies Natalis nanti,” balas Denis sambil menepis tangan Linda. Tanpa mempedulikan gumam cewek manis yang memasang wajah judes itu, kami langsung menuju ruang musik. Denis membantuku naik tangga gedung itu.
            Tiba-tiba ada seseorang yang menubrukku dari belakang. Hampir saja aku terjerembab kalau tidak segera ditangkap oleh cowok itu.
            Lagi-lagi Linda. Kuhela nafas dan kukedipkan mataku ke arah Denis agar tidak usah mempedulikan Linda. Syukurlah, ia tidak menertawakan aku.
            Begitu duduk di depan piano aku langsung menarikan jemariku di atas tuts-tuts berwarna hitam putih. Kumainkan lagu kesayanganku dan sungguh-sungguh memasuki duniaku.
            Tanpa diundang, wajahnya membayang di pelupuk mataku dengan sorot lembutnya. Kami seakan berjalan di antara bunga aneka warna, beraneka juga harumnya. Ada bunga tulip, alamanda, gladiool dan masih banyak lagi. Di situ kami saling bergandengan, penuh tawa bahagia. Ah ..... suatu kebahagiaan yang sangat ingin kuraih, namun begitu jauh jangkauannya. Tuhan, mungkinkah ini menjadi kenyataan bagiku? Tanpa sadar terasa basah di pipiku. Aku tersentak saat tepuk tangan riuh terdengar di ruang itu.
      “Eti, permainanmu bagus sekali. Lihat tuh, teman-teman terpesona!” kata Denis seraya menjulurkan saputangan kepadaku.
      “Makasih, Den!”
            Di sekelilingku sudah banyak teman yang ikut mendengarkan lagu yang baru saja kumainkan dengan penuh perasaan.
      “Eti, mainkan lagi, saya juga ingin mendengar!” Ternyata Pak Julio, dosen seni Musik kami, sudah berada dekat Joe yang duduk di bangku drum. Segera kumainkan lagu nostalgia itu lagi. Kulihat Denis mengambil gitar akustik lalu mengiringi dengan petikan mautnya.
      “Bagus sekali, Ti. Lagu ini harus ditampilkan pada Malam Gembira. Kamu bisa bermain duet seperti ini dengan Denis,” puji Pak Julio seraya memandangi kami berdua.
      “Den, nyanyi dong!” seru Jan keras-keras.
      “He-eh. Sama kamu ya Jan? Kayak Paul dan Garfunkle kan asyik.”
Aku meledek cowok memble itu. Teman-teman tergelak saat melihat Jan melotot ke arahku.
      “Nyanyi aja Den! Jangan ngeladenin Eti.”
      “Okelah! Satu lagu aja, ya,”
Ruang peraga mendadak jadi senyap.
                        ..........
                        Wherever you go, whatever you do
                        I will be right here waiting for you
                        Whatever it takes                                 ……
                        Oh how my heart breaks
                        I will be right here waiting for you.
                        .........
            Selama cowok di sisiku  ini mengalunkan suaranya yang merdu, tatap dan senyumnya sering tertuju padaku. Betulkah itu, atau .... ge-erku saja? Tapi suit-suitan mereka meyakinkan aku.
            Kurang sepuluh menit jam sembilan kami keluar dari ruang musik karena kuliah mata kuliah Ilmu Komunikasi Internasional akan dimulai. Teman-temanku pun bubar. Mata judes Linda tertancap lagi ke arahku, saat kami lewat di depan kelasnya. Dalam hati aku berbisik kepadaNya memohon kekuatan batin menghadapi sikap Linda. Betapa inginnya aku bersahabat dengannya, tetapi mengapa ia begitu angkuh dan memusuhiku??

*   *   *
            Setengah satu kurang sepuluh, kuliah terakhir selesai. Dengan tertatih dan sambil mengalungkan tas di pundakku aku melangkah minggir saat Linda lewat. Tapi entah sengaja atau tidak, terasa seseorang mendorong tubuhku begitu kuat. Kacamata minusku terpental. Kriyeeeek! Ohh...! ada yang menginjaknya. Pasti hancur....hancur benda bening itu. Aku betul-betul kehilangan keseimbangan dan jatuh tengkurap. Kurasakan keningku perih tersayat benda tajam. Dengan susah payah aku berusaha bangun. Tuhan .....Tuhan, tolonglah aku, bisik hatiku.
      “Eti ....Eti.....” suara Titin disusul Dircia.
      “Ya Tuhan. Ti, keningmu berdarah. Jan, tolong ambilkan kotak obat di ruang praktek Anak-anak FKM. Cepat!”
            Jan dan Sara beserta beberapa anak FKM langsung bertindak.

*   *   *
            Aku didudukkan di dekat pintu gerbang saat mas Jon datang tergopoh-gopoh menjemputku.
      “Ti, kenapa kamu, jatuh?” mas Jon bertanya penuh cemas.
      “Didorong dari belakang. Ayo Lin, minta maaf pada Eti!” tiba-tiba Denis muncul sambil menarik lengan cewek manis yang sangat benci padaku itu.
      “Mas Jon, dia itu yang suka jahat pada Eti,” Titin mengadu pada abangku. Kakak menatapnya sinis.
      “Ayo, minta maaf!” perintah Denis karena Linda tampak diam saja.
      “Maafkan aku, Ti!”
Aku diam dan menatapnya ragu. Baru kali ini aku mendengar permintaan maaf darinya. Padahal Linda begitu keras adatnya. Bagi dia pantang minta maaf, biar salah sekalipun. Ketika permintaan itu diulangnya lagi, aku hanya menganggukkan kepala.
            Setiba di rumah, mama merawatku dengan sabar dan telaten. Kepalaku dibalut dengan perban putih, mirip pendekar yang siap bertempur.

*   *   *
           
            Sore itu ketika aku baru saja turun dari tempat tidur, kulihat mama sedang mengupas jeruk untukku. Mama tersenyum padaku. Kuminta jeruk itu untuk kuselesaikan sendiri mengupasnya.
      “Masih pusing, Ti?” tanya mama lembut.
      “Sedikit, ma. Tapi tahan kok.”
Tiba-tiba kudengar suara piano di ruang tengah. Itu lagu kesayanganku. Siapa yang memainkannya? Bagus sekali.
      “Ma, siapa yang main piano?” senyum mama penuh arti.
      “Mama panggilkan orangnya, ya?” wanita yang kukasihi ini beranjak pergi. Beberapa menit kemudian mama kembali membawakan kejutan, katanya:
      “Ti, ......ini dia orangnya!” mama masuk. Tangannya bergelayut di lengan.......Denis! di dekatnya, mama tampak mungil sekali. Dia sendiri menatap lekat dan tepat di manik mataku.
      “Eti....”
            Serentak genggaman Denis lepas saat mas Zeca masuk ke kamarku membawa tas. Asyiiik....pasti buku!!
      “Eti, kamu boleh baca kalo udah nggak pusing lagi, ya!” aku membelalak senang kala kuraba tas itu. Betul dugaanku.
      “Makasih, mas!” kukecup dengan lembut pipinya.
      “Hei, Den, sudah lama? ..... Zeca, dia ini kan cowok Eti,” jelas mas Jon yang baru nongol sambil mengerling nakal ke arahku.
      “Hussh, ngawur mas Jon!” kucubit lengannya. Entah bagaimana merah putihnya wajahku saat itu. Mas Zeca balik melirik ke arahku.
      “Lebih asyik lagi kalau ke ruang baca papa sama dia ya,Ti? Dipeluk, digendong oleh .....” aku cubit keras-keras lengannya sehingga mas Jon meringis kesakitan.
      “Hei, hei.... keluar dong! Kalian kayak nggak tau aja. Keluar... keluar!” Itu lagi!! Papa ikut-ikutan menggoda.
      “Ti, papa akan mainkan lagu buat kalian,” papa terus bercanda.
      “Yang tidak berkepentingan diharap keluar. Juga mama. Yuk ma!” Cara papa merangkul mama yang sedikit ‘over’, membuat tawa riuh pecah berderai.
            Beberapa saat kemudian terdengar lagu kesayanganku. Aku benar-benar terharu. Oh .... orang-orang tercinta. Mereka itu pun bisa memainkan lagu kesayanganku dengan sangat baik. Air mataku menitik. Tuhan, terima kasih.
            Wajahku memerah saat Denis merangkulku dan mendekatkan bibirnya ke pipiku. Ciuman amat lembut diberikan cowok idamanku begitu tiba-tiba.
      “Aku sayang kamu, Ti,” bisiknya mesra. Desir halus kembali mengusap manis sanubariku. Namun kutekan dalam-dalam.
      “Den, teman lain kan banyak yang lebih baik daripadaku. Ntar kamu menyesal karena aku invalid.”
      “Suka-suka kan.... dan kebetulan aku suka sama kamu.”
      “Bagaimana dengan Linda?”
      “Emangnya ada hubungan apa aku dengan si Lusifer itu?”
      “Hush! Tapi dia kan cantik,” sahutku cepat.
      “Biar cantiknya kayak ratu sejagad, kalau aku nggak cinta, gimana?” rajuknya.
      “Sssst! Kututup bibirnya dengan telunjukku ketika mendengar mama berbicara dengan seseorang.  Woow, itu suara cewek!?
      “Eti, ada temanmu, nih!” mama mengantar Linda kepadaku. Dia tersenyum manis dan melangkah lincah serta duduk di bibir tempat tidurku.
      “Gimana, Ti? Sudah baik kan? Aku minta maaf ya, Ti. Juga atas kelakuanku yang dulu-dulu.” Cewek cantik itu segera mendekat dan memelukku. Kulihat mata Linda merebak.
      “Aku sungguh menyesal atas kejadian yang lalu, terutama yang kemarin. Maaf ya, Ti. Biarlah kacamatamu aku ganti.”
      “Nggak usah. Udah diganti oleh papa kok, Lin. Tuh!!” isyaratku ke arah meja kecil dekat tempat tidur.
      “Ti, kamu belum menjawab permintaan maafku. Tapi kalau memang kamu tidak mau memaafkan aku, aku terima kok. Emangnya aku yang salah.” Linda menundukkan kepalanya. Kuraih jemarinya dan kugenggam erat-erat.
      “Aku memaafkanmu, Lin!” Tiba-tiba mata itu bersinar amat gemerlap. Kupeluk Linda.
      “Terima kasih, Ti! Selain aku datang untuk minta maaf, aku ... aku juga merestui hubungan kalian. Den, maafkan aku! Jagalah Eti baik-baik. Cintailah dia setulus hatimu. Awas kalau kamu menyakiti dia!” Diraihnya jemariku, kemudian digenggamkannya di tangan Denis lalu dipererat dengan kedua tangannya.
      “Semoga abadilah hubungan kalian.”
            Sekali lagi dipeluknya aku erat-erat. Sementara itu lagu kesayanganku berkumandang lagi dari ruang tengah, diiringi saxophone dan gitar. Kupejamkan mataku menikmati lagu itu. Denis merangkulku dan berbisik lagi di telingaku:
      “Eti, aku penasaran. Setiap kali aku tanya, selalu kamu jawab ‘Lagu Kesayangan’. Sebenarnya lagu apa sih itu?”
      “When You Love Someone!”         

TAMAT


UNDIL, October 2003

Hau hakarak O atu hatene (Sebuah Cerpen)

Istoria badak (Cerpen) ida nebe hau hakerek iha tinan 1997 kona ba kolega nain haat Avenildo, Andiko San (bai-bain bolu San), Dityo, ho Edi iha Colegio Sao Jose (SANYOS) iha tinan 1997. Naran no fatin nebe temi iha istoria ne'e fiktif . Karik iha ema balu mak naran hanesan ho istoria hanesan, ne'e kebetulan deit.
***

      “Hooiiii!!!!!!!”Aku tersentak. 
      “Monyet lu, Ve. Gak lihat gue lagi makan apa. Kalo gue keselek terus mati gimana. Lu mau nanggung????” Aku mengomeli Ave yang seenaknya saja mengagetkan aku. Ave tertawa. Dia duduk di sampingku dan sambil makan ‘teki-tolun’-ku tanpa permisi. (Teki-tolun tuh istilah kita buat kacang sukro). Aku hanya memandangnya sebal dan kemudian kembali sibuk dengan ‘teki-tolun’. Well, biasa, sehabis main gitar di band sekolah, kita suka banget ama teki-tolun atao mie mentah yang garing. Udah kayak makanan resmi aja sehabis main gitar. Tapi untung deh gua, kali ini teki-tolun, jadi gue masih kebagian. Kalo mie mentah, mampus deh gua. Si Ave tuh gak mau bagi-bagi, gak tau nih anak.
      “Nggak deh rasanya. Gue tadi ngelihat lu gak ngunyah makanan lu sama sekali. Lu lagi mandangin apa sih????” Ave memalingkan pandangannya ke arah mataku tertuju sebelumnya dan langsung tertawa.
      “Gila lu, San!!!! Masih juga mandangin cewek itu, gak ada peningkatan sama sekali. Masih mandangin aja. Gak gerah lu?? Gak capek???” Ave menepuk-nepuk punggungku sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Senyum mengejek mengembang di bibirnya. Aku hanya mendengus kesal.
      “Suka-suka gue dong,” jawabku asal. 
      “Fanyaaaaaa……” Ave memanggil cewek itu. Dia sedang asik mengobrol dengan temannya. Fanya memalingkan wajahnya ke arah suara yang memanggilnya. Ave mengangkat tangannya menyuruh Fanya mendekati tempatku dan Ave.
Fanya tersenyum dan menganggukkan kepalanya. Aku menyambar sisa teki tolun dan nyaris menghabisi semuanya seketika.
      “Asem lu, Ave. Apa maksud lu manggil tu anak kesini.” Aku meninju bahu Ave. Ave meringis sambil menggosok-gosok bahunya yang sakit.
      “Gue cuma mau bantuin lu aja kok. Dia classmate lu, San. Satu kelas. Lu juga teman baik sama kakaknya lagi. Tapi kenapa lu jadi cowok pengecut banget.” Aku hanya diam. Mukaku memerah. Dalam hitungan detik Fanya akan sampai ke arahku. Aku hanya mengelus-ngelus dadaku. “Ya Tuhan… tolonglah hambaMu yang lemah ini,” doaku dalam hati.
      “Kenapa???” tanya Fanya kemudian. Dia duduk di hadapanku.
      “Nih si San, ada yang mau ditanyainnya.” Fanya memandangku bertanya. Aku tertawa hambar.
      “Bohong ni anak,” jawabku asal. “Gak ada yang mau gue tanyain kok. Gue cabut duluan ya….” Aku beranjak hendak pergi sambil menarik baju Ave, dan kabur secepat kilat. Fanya hanya diam.
Dia bingung melihat tingkahku yang gak asik banget. Sambil mengangkat bahunya dia beranjak dari tempat kita dan kembali bergabung dengan temannya. Ave melepaskan cengkramanku dari bajunya.
      “Jadi rusak deh baju gue. Baju mahal ni, San!!!!” Ave merapikan kausnya yang kusut karena cengkraman tanganku. “Lu kayak anak kecil aja!” tambahnya lagi. Aku menarik nafasku. Berlari disaat jantung sedang gak normal yang pasti bukan tindakan yang baik karena sekarang dadaku serasa mau meledak.
      “Kalo lu bikin ulah lagi, gue sobek kaus lu yang lu bilang mahal itu.” Aku memandang Ave marah. Ave mengernyitkan dahinya.
      “Lho, emang kenapa?? Gue kan cuma mau bantuin lu membuka jalan. Dasar teman yang gak tau diuntung lu.” Ave balas mengomel.
      “Eh, ni lu denger baik-baik ya. Gue gak butuh bantuan lu. Gue tau apa yang harus gue lakuin.” Ave memandangku sesaat lalu mengangkat bahunya.
      “Ada apa neh, kok kayak ada masalah aja?” tanya Dityo pas balik dari kios buat beli rokok. Dityo tuh, anak yang paling gua sungkan buat bicara soal cewek. Bisa mati deh gua. Seisi sekolah bisa tau rahasia elo, kalo berita itu sampe di telinganya. Gak ada yang namanya rahasia buat si Dityo. Kadang sih aku benci ama dia, karena dia teman yang paling nyebelin gue.
      “Gak kok, kita lagi ngomong soal lagu Aeroporto Comoro. Setuju gak kalo kita pake accoustic guitar aja? pasti lebih asyik.” potongku mencoba membohong sebelum Ave membuka mulut. Ave tersenyum melirikku dengan mata yang lain. Dan aku dah tahu pasti Dityo pasti dah bisa menebak. Mati deh gue. Ya ampun.
      “Ah soal Fanya ya? Gampang! Kalo lu suka ama dia, beliin dia kado. Trus, pas kamu kasih tuh kado besok, sambil merayu bilang aja, ‘I am in love with you, I wanna make love with you. I am very strong in making love’. Yakin deh, dia langsung jatuh cinta ama loe. Gak susah kan?” Ave ketawa ngakak dengar komentar Dityo. Aku nyengir tapi juga kaget, kok Dityo jadi tau sih aku lagi suka ama si Fanya? Aku ignore aja ama comment Dityo, soalnya dia tuh udah kayak gitu orangnya, gak bisa diajak serious. Aku juga gak tertarik mo nanya dari mana dia tahu semuanya itu? Malah bikin persoalan jadi ruwet. Ave masih ketawa, aku jadi dongkol. Jadi aku cabut aja. biarin.
      “San, kamu tuh terlalu polos untuk menipu gua.... tau gak... gua udah tau kok. Eh, eh eh, mau kemana lu...?” Aku gak peduli sama omelan Dityo. Aku terus melangkah. Si Dityo sekarang ikut ketawa. Sialan, aku jadi benar-benar marah.
“Hey San, kok kayak gitu sih?” si Ave menarik lenganku berusaha menghalangi jalanku. “Serious nih, lupain kata Dityo,” ujarnya masih tetap ketawa.
      “Stop it, it is not funny!” hardikku. Akhirnya si Ave berhenti ketawa juga. Gimana pun, aku tetap percaya Ave, dia tuh teman gua yang baik, meski kadang dia juga ikut terbawa jahilnya si Dityo.
      “Terserah lu aja deh. Gue cuma heran aja sama lu. Jarang-jarang lu bisa naksir sama cewek. Eh, pas tiba saatnya, lu malah gak bisa ngapa-ngapain. Dia itu satu kelas sama lu, kadang juga ngerjain tugas barengan. Tapi gak satu pun yang lu lakuin supaya tu cewek tau kalo lu suka sama dia. Lu hanya mandangin dia dari jauh kaya orang bego. Itu bukan kerjaan cowok tau, San. Cowok itu harus berani ngungkapin perasaannya. Jangan sampai terlambat lho, San. Apa salahnya mencoba, gimana bisa tau kalo dia juga suka ama elo?” Aku hanya diam tidak menjawab perkataan Ave, sementara Dityo mendekati mencoba menahan tawanya.
      “Iya dong, daripada lu mandangin dia, trus nahan lapar nahan nafsu segala. Bilang aja jujur ke dia,” Dityo sambung lagi. Aku mencoba memandanginya untuk bisa melihat jelas apa ia serius dalam ucapannya. Aku gak bisa menebak pasti, meski aku benar-benar melihat ke dalam bola matanya. “Atau lu nunggu sampe direbut lagi sama si Edi! Lu rela gak?” sambung Dityo lagi. Aku jadi ngeri. Edi tuh teman kita yang paling gua takutin soal cewek, karena dia tuh kata Dityo punya “pelet” merk “sympathy”. Kalo elo lagi jatuh cinta, mendingan jadian dulu sebelum dia tahu. Kalo terlambat, pasti udah disambar sama si Edi.
Memang tuh anak lagi sakit jiwa kali. Sukanya cuma nyakitiin sesama cowoknya. Maunya ngerampas kekasih sahabat sendiri. Sejak dia nyakitin Ave tiga bulan lalu, dia udah jarang gabung di kelompok kita. Kita gak usir sih, soalnya biar gimana pun Edi tetap teman kita. Cuman dianya yang mungkin gak enak kali.
      “Damn!!!!” Ave melihat jam tangannya. “Gue ada janjian nih sama princesa. Gua harus pergi sekarang. Gara-gara ngobrol sama lu.” Ave menjitak kepalaku. “Gue cabut dulu ya, Bro.” Ave meraih motornya. Dityo menghenyakkan pantatnya di boncengan Ave seenaknya.
      “Mau kemana elo”? tanya Ave seraya membalik melihatnya. 
      “Aku mau ke Airport aja kok!”
      “Gila lu, jauh banget tau nggak! Sana jalan kaki” hardik Ave.
Dityo ketawa ngakak “Gak, bercanda, Cuma di depan Nila sari aja kok. Ave cuma menggelengkan kepalanya kelihatan kesal.
      “OOO iya, San. Lu sekolah sampe jam berapa???” Ave membalikkan badannya.
      “Sampe jam satu, emangnya kenapa sih?” tanyaku.
      “Yah…..jadi kan ketemuan bentar sore. Jangan lupa ya bawa juga CD Green Day-nya elo yang baru itu, gue mau pinjam.”
      Jam 3 aja deh di depan pos depan sekolah. Soal CD entar aja, loe mau main game Playstation di rumah gue kan, setelahnya. Sekalian aja nantinya.” Ave nampak berpikir sejenak sementara Dityo tampak gak sabaran di belakang Ave.
      “Ok deh kalo gitu. See you…..” Ave melambaikan tangannya dan pergi meningggalkan aku sendirian. Aku menghela nafasku berat. Kadang aku pengen banget jadi Ave yang selalu santai. Dengan mudahnya dia memanggil Fanya yang sama sekali tidak mengenalnya. Kenal sih, tapi kan gak akrab. Mereka kenal pun gara-gara aku. Si Ave kan emang sering nongkrong bareng anak-anak dari jurusanku. Kalo Ave yang naksir Fanya pasti langsung ditembaknya itu cewek tanpa babibu lagi. Mau jadi Dityo?? Amit amit deh..

***

Aku membereskan diktat sekolahku yang berserakan di meja perpustakaan. Dasar Ave. Gara-gara dia, tugas gue gak selesai. Dua malam nonstop gue main Playstation sama dia. Mang monyet tu anak. Tadi malam malah diminta maen gitar berjam-jam buat dia dengung reff lagu baru, princesa. Lyric lagu aja belum beres. Aku jadi sempat gerutu, kalo saja si Edi, masih bareng kelompok kita, urusan liric lagu tuh gampang, soalnya dia suka nulis puisi dan hobi banget nulis lirik lagu. Ah, dasar.....
      “Sibuk, San????” Aku tersentak ketika ada suara cewek menyapaku. Dunia terasa berhenti berputar ketika aku melihat Fanya berdiri di hadapanku.
      “San???!!” Fanya kembali membuka mulutnya. Ya ampuuuuuuun… bibirnya itu lho, mungil banget. Kalo lagi nonton DVD pasti gue previous terus adegannya. Aku tertawa dalam hati.
      “San?????!!” Kali ini aku kembali ke dunia nyata. Duniaku kembali berputar, aku kembali berpijak di bumi.
      “Eh Fanya…….” Aku tertawa garing. Fanya tersenyum kepadaku. Aku memejamkan mataku dan menarik nafasku pelan.
      “San, lu kenapa?” Fanya memandangku heran.
      “Eh, gak kenapa-napa kok,” jawabku cepat. “Kenapa, Nya????”
      “Lu sibuk ga, San???” tanya Fanya lagi.
      “Nggak juga. Tugas gue udah kelar kok,” jawabku lagi.
      “Gini, adik gue Rudi mau ulang tahun. Terus gue mau ngasih dia kado. Dia suka banget ama game PS. Tapi, gue gak ngerti soal itu. Lu juga suka main PS kan sama Ave. Mau gak lu nemenin gue beli kado buat Rudi. Ntar lu aja yang milihin. Selera lu pasti gak jauh beda sama dia.”
      ”Gue???? Gue pergi sama lu??” tanyaku gagap. Ini mimpi atau nyata sih.
      “Tapi kalo lu gak mau juga gak apa-apa sih.”
      “NGGAK!!!!!” teriakku. Aku menutup mulutku. Penjaga pustaka memandangku sinis. Aku memandangnya memohon maaf. “Maksud gue, gue mau kok. Kapan kita perginya???” Fanya tersenyum.
      “Ntar siang aja. Lu bawa kendaraan???” tanya Fanya kemudian. Aku mengangguk cepat.
      “Gue kebetulan bawa kendaraan juga sih. Mobil bokap.” Fanya mematut-matut jarinya di dagunya. Cantik banget……. Ya Tuhan, wanita ini emang ciptaanMu yang paling indah.
      “Ok deh, aku tinggalin aja motor gue di sini, gak pa-pa kok. Udah itu kita pergi bareng pake mobil elo kalo gak keberatan.” Fanya tersenyum sumringah tanda mengiyakan.
      “Thanks ya, San. Lu baik banget.” Aku hanya diam menahan malu.
      “Gue ke kelas dulu. Mau bareng???” tanya Fanya. Aku menggelengkan kepalaku cepat.
      “Masih ada yang mau gue kerjain,” jawabku asal.
      “OOOO… ya udah kalo gitu. Jangan kelamaan pak guru bentar lagi masuk soalnya.” Aku kembali menganggukkan kepalaku bersemangat. Duh….. tolongin dong orang yang lagi jatuh cinta ini.

***

Aku menghempaskan badanku di atas tempat tidur. Jalan sama Fanya hari ini bagaikan mimpi buatku. Aku tersadar dari lamunanku ketika mendengar lagu With Me-nya Sum 41 dari dalam saku celanaku. Aku bangun dari tidurku dan mengambil HPku. Aku menepuk jidatku.
      “Mampus gue,” gumamku.
      “Heh monyong!!! Lu di mana????” teriakan Ave langsung terdengar ketika aku mengangkat telponnya.
      “Di rumah,” jawabku singkat.
      “Di mana?????!!!!! DI RUMAH????!!!!!!” Kali ini teriakkannya makin keras. “Heh, lu tau gak gue lagi ada di mana sekarang???” Ave balik bertanya.
      “Nggak,” jawabku takut-takut.
      “Gue lagi di sekolah. Di pos kecil depan sekolah kita. Nungguin lu. Udah tiga jam, kampret!!! And now, you are at home. LU PIKIR SAPA YANG BUAT JANJI????!!!!” Aku menjauhkan telingaku dari HPku. Aku baru ingat kalo sebelum berangkat ke perpustakaan tadi pagi aku sudah bikin janji dengan Ave untuk beli recorder baru buat rekaman kasar musik-musik kita.
      “Sori, Ave. Gue lupa,” jawabku pelan.
      “Sori?????!!! Lu mau dihajar ya,” jawab Ave santai.
      “Ya ela lu, Ave. Gitu aja marah. Baru tiga jam aja.” Aku tertawa. “Gini aja deh, Ve. Lu ke rumah gue sekarang. Beli recordernya nanti aja. Ngabisin duit. Mending kita main ping-pong di rumah gue. Udah gratis sehat lagi.”
      “Main aja lu sana sama tembok. Gue ogah ketemu sama lu lagi. Gue ngambek.”
      “Eh.. masa cowok ngambek. Lu cowok kan, Ve. Ayolah…. jangan childish gitu. Ada yang mau gue ceritain sama lu.”
      “Bodo amat. Gue sakit hati sama lu. Pokoknya besok di sekolah jangan temuin gue.” Click, Ave menutup telponnya. Aku mengangkat bahuku. Peduli amat. Lihat aja besok siapa yang nyamperin duluan. Ave mana pernah betah lama-lama main sama anak satu kelasnya.

***

       “Ve……… Hoi!!!! What’s up my bro!!!!” Aku menepuk bahu sahabatku itu. Ave menepis tanganku dari bahunya. Aku tersenyum. Nampaknya ni anak memang benar-benar marah kali ini. Gak salah sih….. kalo aku jadi dia, aku juga pasti marah. Tapi, mau gimana lagi. Aku kan lupa.
      “Lu masih marah ya sama gue???” tanyaku dengan sangat lemah lembut. Ave emang gak tahan kalo dibaikin sama orang lain. Ave tidak menjawab pertanyaanku. Dia sibuk dengan minumannya. Seharian di sekolah dia memang tidak menemuiku, makanya aku bela-belain menyusulnya.
      “Aduh, Ve jangan marah lagi dong sama gue. Gue kan udah menunjukkan itikad baik minta maaf sama lu. Nyari lu di sekolah sama aja kaya nyari jarum ditumpukan jerami.” Aku membuka mulutku.
      “Mang gue pikirin, biar lu aja yang masuk di dalam tu jerami” jawab Ave marah. Aku kembali tersenyum.
      “Lu kalo masih ngambek juga ntar gue cium lho.” Canda aku. Ave memandangku jijik.
      “Jibang tau gak!!! Jijik banget gue sama lu.” Aku tertawa ngakak.
      “San…………..”. tiba-tiba ada suara halus yang memanggil namaku dan jelas sekali aku mengenal suara itu. Aku terdiam.
      “Eh, Fanya….” Aku menggaruk-garuk kepalaku yang tidak gatal. Jangan sampe deh ni cewek dengar kalo aku mau nyium Ave. Yah… walaupun cuma becandaan tapi tetap aja bisa jatuh pasaran.
      Thanks ya, San, buat kemaren. Tadi di kelas gue gak sempat bilang. Adek gue suka banget. Dia main PS semaleman ampe kena marah ama nyokap.” Aku mengibaskan tanganku.
      “Santai aja lagi. Sudah sewajarnya sesama teman saling membantu,” jawabku sambil terkekeh. Basi banget.
      “Ya udah deh. Gue gabung sama teman-teman gue dulu.” Aku menganggukkan kepalaku. Ave memandang sinis ke arahku. Fanya berlalu sementara Ave meninjuku sekuat-kuatnya.
      “Gila, diam-diam lu dah ada kemajuan. Ceritain selengkapnya sama gue.,” perintah Ave dengan nada mengancam.
      “Eh, berarti aku udah dimaafkan ya?” aku tersenyum.
      “Ya iyalah.. itu tuh gak penting lagi. Ini nih yang penting. Certain dong!” pinta Ave lagi. Sekali lagi tersenyum, dan itu membuatnya malah bersemangat untuk mendengarkan.
Aku menelan ludahku dan menceritakan semuanya kepada Ave.
      “Nah, lu sendiri kan yang bilang sama gue buat usaha biar tu cewek bisa gue dapetin.” Aku langsung membela diriku setelah menceritakan semuanya sama Ave. Ave menggelengkan kepalanya.
      “Tapi gak ngorbanin gue, Kunyuk!!!” Ave menjitak kepalaku. “Telpon gue kek apa susahnya,” lanjutnya.
      “Masalahnya itu gue lupa. Benar-benar lupa.” Aku kembali membela diriku.
      “Yah…. terserah lu dah….” Ave beranjak dari tempat duduknya dan pergi meninggalkanku.
      “Eh…… Eh…. …. mau kemana lu?” Aku berlari menyusul Ave. “Terserah lu deh Ve mau apa, gue jabanin deh asal lu maafin gue.” Aku menjejeri langkah Ave. Gak enak juga dingambekin sama teman sendiri.
      “Gue mau beli teki tolun. Lu harus bayarin gue,” jawab Ave cepat.
      “Ok, Bro!!!!! Berapa teki tolun emangnya?????” jawabku santai.
      “Sebanyak-banyaknya plus lain-lain” Mataku membesar. Gila ni anak. Aku membuka dompetku dan mengelus dada ketika melihat hanya dua lembar seribu rupiah disana.
      “Bisa gak makan gue nih.” Aku menepuk jidatku sementara Ave sudah berlalu menuju ke parkiran sambil menenteng rokok, teki tolun plus supermi. Dasar gila.

***

Sudah beberapa bulan sejak kejadian aku nemanin Fanya pergi membeli hadiah ulang tahun buat adiknya. Memang rencana Tuhan siapa yang tahu. Sejak saat itu Fanya jadi sering bergabung sama aku, Ave dan Dityo. Awalnya sih hanya sebatas menyapa saja, tapi lama-kelamaan dia jadi sering menghabiskan waktunya sama aku, Dityo dan Ave. Kadang dia juga bareng kita main guitar di band sekolah buat rekaman kasar koleksi pribadi. Berkat suaranya yang bagus, kita juga minta dia ngisi beberapa lagu dengan suara cewek. Duh, syukur... pada saat-saat kayak gini, teman gue Edi lagi break ama kita. Aku memang butuh itu. Berulang kali Ave dan Dityo menyuruhku untuk menyatakan perasaanku sama Fanya tapi kenapa rasanya belum ada waktu yang tepat buat ngungkapin perasaanku itu. Padahal aku sama Fanya sudah seperti gak ada batas lagi. Tapi kenapa aku tetap belum siap untuk mengatakan apa yang aku rasakan.
      “San, lama-lama gue yang jadi gerah lihat lu.” Ave memulai pembicaraan tentang Fanya. Saat itu kami lagi nongkrong di cafe langganan kami. Dityo duduk agak di ujung meja tampak cuek sambil nikmatiin rokoknya.
      “Mang kenapa???” tanyaku sok innocent, padahal aku tau kemana arah pembicaraan sahabatku ini.
      “Iya…. gerah… lihat lu berpura-pura gak ada perasaan apa-apa sama tu cewek.” Aku hanya diam.
      “San, ini kesempatan lu. Fanya udah semakin lengket sama lu. Gue juga yakin kalo tu cewek juga ada rasa sama lu. Apa sih yang lu takutin???” tanya Ave penasaran. Aku menghela nafasku.
      “Gue gak tau, Ve. Hanya saja… rasanya gue belum siap buat bilang suka sama dia.” Ave tertawa.
      “Mau nunggu siap sampe kapan, ampe tu anak kawin. Kita udah lama temanan sama lu, San, tapi kita gak pernah bisa ngerti gimana jalan pikiran lu.”
      “Dah, kalu dia sudah kawin kamu gak mungkin threesome, kan. Dibunuh ama suaminya, tau,” Dityo mulai ikut campur sambil nyengir dikit. Matanya kembali pada novel Fredy S yang dibacanya. Mataku membesar. Aku langsung memandangnya dengan wajah jijik. Threesome? Apa aja yang ada di otak Dityo, aku gak ngerti. Emangnya tadi dia makan apa?
      “Please Dityo, norak lu. Aku lagi sakit kepala nih. Lu baca aja tuh novel, ok” Ave cuma senyum. Dityo ketawa kecil sambil mengisap rokoknya lagi.
      “Sebenarnya beberapa kali gue berniat buat ngomong sama dia, tapi semua kalimat itu gak pernah terucap sama gue.”
      “Emangnya kenapa” tanya Dityo sembari bergeser mendekatiku dan Ave. Aku jadi gak enak badan.
      “Susah ya? Ato lu takut ditolak?” sambungnya lagi kayak dah pernah mengalaminya sendiri. Ave hanya menggelengkan kepalanya tampak putus asa untuk meyakinkan dan memberi semangat kepadaku.
      “Ok deh aku ada saran nih. Ini serius,” tambah Dityo lagi. “gini aja, lu bilang aja ke dia, lu benar-benar suka ama dia,” Heran aku, meski aku gak suka dengar omelan Dityo, kok kali ini aku benar-benar berhenti mau dengar usulannya. Aku melihat ke arahnya, hopefully kali ini bukan soal nafsu, atau ML atau apalah yang biasa jadi kata pengantar Dityo. 
      “percaya deh, aku serius sekarang, gini, pas ketemu bilang aja, kamu suka ama dia. Trus cuekin, urusannya dia untuk menjawab ya atau tidak. Yang penting lu dah membebaskan perasaan luh.” Aku mendengar usulan Dit dengan teliti dan kupikir-pikir benar juga kali.
      “Ala, cewek tuh biasa make kata-kata, ‘entar aku mikir dulu. Bisa gak gua beri jawaban esok?” tukas Ave.
      “Kalo ceritanya kayak gitu. Gampang! Lu bilang aja, ‘Fanya, cinta itu bukan soal memikir tapi merasa. Memikir itu pake otak, kalo merasa itu pake hati. Kalo Fanya masih mikir, mendingan kita temanan saja?” Dityo tersenyum ke arahku setelah membeberkan teorinya. Aku jadi kesal, kok gak bisa diajak serius sih?
      “Gila lu, kalo dia benar-benar bilang ‘masih mikir’ habis dah cinta elo.” Kali ini Ave benar-benar ngakak.
      “Terserah lu deh, San. Kita-kita sebagai sahabat hanya bisa nasehatin lu aja.” comment Dityo.
      “Yeah, i appreciate that,” jawabku pelan sambil sedikit ngelirik ke arah Dityo.

***

Aku sudah membuat keputusan. Setelah menimbang ucapan Ave beberapa hari yang lalu akhirnya aku memutuskan untuk menyatakan perasaanku kepada Fanya. Memang benar apa yang dikatakan Ave dan Dityo, mau sampai kapan aku menyimpan perasaan ini. Kalo sampai tu cewek kawin duluan sebelum aku menyatakan perasaanku ini sama dia, bisa menyesal tujuh turunan aku.
      “How’re you, Bro???!!!” Ave menepuk bahuku.
      “Gue mau pipis aja rasanya, Ave. Padahal gue gak banyak minum deh.” Ave tertawa ngakak.
      “Gila aja lu. Makanya jadi cowok jangan kelamaan suka sama cewek. Kaya gini deh jadinya.” Aku menjitak kepala Ave.
      “Bagusan gue daripada cowok playboy kacangan kaya lu.”
      “Ya… Ya….,” jawab Ave mengalah. “So, what’s your plan?????” tanya Ave kemudian.
      “Gue udah sms Fanya ngajakin hang out bareng. Dia sih ok aja. Tapi, tu anak minta dijemput di sekolah. Soalnya dia ada kegiatan extra hari ini.”
      “Lu kok gak pergi ke sekolah???” Tanya Ave. “Alah nunggu fotocopy aja, kalo mau ujian SKS aja udah lumayan.”
      “Sialan banget si Fanya ditaksir sama cowok pemalas kaya lu.” Ave tertawa.
      “Kaya lu rajin aja. Lu lebih parah dari gue, Kunyuk!!!!!” Ave kembali tertawa. Emang benar sih. Kami berdua memang sama-sama top banget malasnya. Ave menjalankan motorku.
Sementara itu aku hanya duduk dalam diam di belakangnya. Nih anak memang gila, setiap kali kalau boncengan berdua, dia selalu milih kendali setir, meski itu bukan motornya. Aku yang selalu jadi korban duduk di belakangnya. Aku gak pernah ada pilihan lain. Tapi mendingan dia datang bareng hari ini, daripada gue pergi sendiri. Thanks, Ave, bisikku dalam hati.

Semua rencana ada di otakku. Aku sudah memikirkan semuanya. Aku akan menyuruh Fanya menungguku di sekolah lalu aku akan membawanya jalan-jalan berdua dengan motorku. Lalu si Ave, my best friend sepanjang abad ini dengan rela hati pulang ke rumahnya dengan taksi. Tadi dia mau bawa motornya juga, tapi aku milih dia bareng aku di motorku, meski aku harus duduk di boncengan. Aku sudah menyiapkan tempat yang romantis buat Fanya. Sangat romantis…..

Aku tersenyum sendiri memikirkan rencanaku yang sudah kususun rapi ini. Ave memandangku dan tersenyum. Mungkin dia menyadari apa yang ada di pikiranku saat ini.
      “Ve, gak usah masuk ke halaman sekolah deh. Fanya nungguin gue di warung kacang bubur di sudut kantor PM itu lho.” Aku membaca SMS yang baru saja masuk ke HPku. Yah…. setidaknya gak makan waktu jemputin dia ke gedung tempat dia sekolah.
      “Berenti dimana nih???” tanya Ave.
      “Di sini aja. Nah… tu dia. Lagi duduk-duduk bareng temannya. Lu lihat gak, Ave????” Tanpa sadar aku dengan bersemangat menunjuk ke arah Fanya.
      “Aduh… tu anak memang cantik banget hari ini.”
      “Sudah… nih ganti bawain motornya. Gue cabut sekarang.”
      “Aduh, Ave. Tungguin gue ama dia pergi dulu. Please…….!!!!” Ave berdecak.
      “Iya… Iya… ntar gue lihatin ampe lu berangkat berdua sama tu cewek. Sudah itu baru gue naik taksi.”
      “Ya Tuhan….. teman gue yang satu ini memang baik hati. Sini gue peluk. “
      “Sedikit aja lu nyentuh tubuh gue yang suci ini lu bakalan gue masukin ke rumah sakit lebih cepat dari kecepatan cahaya. Sudah… nih helmnya. Ntar Fanya kelamaan nunggunya.” Aku mengambil alih motor. Aku melihat Fanya sedang tertawa bersama temannya. Sempat terbesit di pikiranku apa yang dirasain sama gadis itu sekarang. Aku melirik Ave yang sudah beranjak pergi. Dia beranjak ke kios di seberang jalan sana tuk membeli Gudang garam Filternya.


*** 

Dengan bersemangat aku menyebrangi jalan raya yang penuh dengan kendaraan yang lalu lalang. Aku benar-benar bersemangat karena hari ini adalah hari besarku. Fanyalah gadis pertama yang mengisi hatiku. Mengisi cinta pertamaku yang sebelumnya hanya sebuah rongga kosong. Beberapa detik kemudian, aku dah di depan Fanya.

Aku jadi sedikit grogi karena diliatin sama sekelompok cewek temannya Fanya. Tapi aku cuekin.Aku yakin mereka mengenalku, at least by face, soalnya sebagai anak band disekolah, kita sering tampil di panggung. Setelah basa-basi sana-sini, aku cabut, dengan Fanya bertengger di boncengan motor di belakangku. Sekilas aku mencium bauh perfumenya. Ya ampun, aromanya pas banget dengan wajahnya yang jelita.

Sepanjang perjalanan, kita cuma diam, berbicara sambil mengendarai motor rasanya kurang bagus. Dianya pasti susah dengar, plus aku takut kalo ada air liurku tersembur keluar trus nemple di mukanya. Bisa mampus deh gua, untuk selamanya.
Aku menghentikan motor di depan warung “Dapur Tante” di pinggir pantai dan membimbing Fanya masuk. Jantungku berdetak kencang. Sebentar lagi Fanya akan menjadi milikku, bisikku dalam hati.

***

Udah banyak kali kita keluar bareng sama Fanya kayak gini. Tapi biasanya pasti bareng si Ave dan Dityo. Ini baru pertama kalo aku hang out ama Fanya sendirian. Seperti biasa, Fanya orangnya asyik untuk diajak bicara. Ngomongnya asyik banget dan ia suka senyum seperti biasa. Dityo aja, yang sulit banget ngakuin cewek cantik, sampe bilang kalo Fanya tuh cewek yang cantik, manis budi dan pas buat gue. Aku yakin Dityo mean it waktu dia bilang gitu.

Rasanya sudah hampir tiga puluh menit aku ma Fanya di warung itu. Dah banyak topik yang kita bahas. Tapi aku belum juga mendapatkan celah buat ngungkapin perasaan gue. Sementara itu dadaku serasa mau meledak saja, karena detakan jantungku semakin kencang. Aku mencoba menatap tepat di matanya.
      “Fan ...” kataku, yang kemudian terpotong karena hp-nya Fanya berdering.
     “Bentar ya.” ucap Fanya sambil mengernyitkan jidatnya. Aku mengalihkan matahku ke arah tasnya di mana hp berada. Fanya melihat hp-nya dengan wajah bingung.
     “Tumben dapat telepon dari Rudi, adik gue. Emangnya ada apa nih?” Aku mengangguk tanda mengiyakan Fanya menerima telepon itu.
     “Sorry ya, gua angkat dulu!” katanya trus memasang HP itu ke telinganya.
Beberapa detik kemudian, mata Fanya membesar tanda kaget dan panik. Kayaknya ada yang gak beres di rumah. Aku cuma duduk diam mendengar potongan percakapan dari bagian Fanya. Tapi
yang pasti aku tau ada kecelakaan di rumah.
    “San, sorry banget ya, aku harus cepat ke rumah sakit. Nenek gue katanya lagi diusung ke rumah sakit. Katanya sih jantungnya kumat lagi” Tanpa bertanya babibu, aku langsung bayar tuh warung dan beranjak pergi ke rumah sakit.

Wajah Fanya terlihat tegang dan kaku. Ia diam tak bicara. Aku juga bungkam, sepertinya kata kataku yang aku siapkan seharian tadi buyar. Kegirangan dan keceriaan yang nampak jelas tadi, sekarang terbang entah ke mana.

Angin yang menerpa mukaku dalam perjalanan ke rumah sakit terasa dingin. Hatiku pun terasa dingin kali ini. Yang pasti aku gak bisa tembak Fanya hari ini. Aku sadar ini bukan saat yang tepat. Apalagi setelah Fanya menjelaskan kalo nenek itulah yang membesarkan Fanya sejak Fanya masih 2 tahun. Jadi saat ini keselamatan neneknya adalah prioritas utama Fanya.

Beberapa menit kemudian kita dah di rumah sakit. Keadaan nenek Fanya kelihatan agak parah. Pernafasannya dibantu dengan oksigen. Lano kakak Fanya menjelaskan apa yang terjadi. Dari Lano juga aku tahu lebih banyak lagi tentang hubungan Fanya dan si nenek.

Anyway, aku akhirnya mohon diri untuk balik ke rumah. Fanya mengantarku hingga di pintu keluar meski aku bersikeras untuk keluar sendiri. Dalam perjalanan pulang tiba-tiba aku merasa lelah sekali. Aku juga marah, tapi pada siapa? Aku merasa bodoh, seharusnya aku dah tembak sejak di warung tadi sebelum telepon itu berbunyi. Ah, kali ini Dityo pasti benar-benar mengejekku cowok gak punya nyali.


***

Aku terbangun dari tidurku ketika mendengar lagu With Me-nya Sum 41 dari hpku di meja samping tempat tidurku. Aku meraih Hpku sambil menggerutu kesal. Sialan, nih anak gak tahu kalo hari ini hari minggu, hari baik buat gue bangun kesiangan? Telepon dari Ave. Jam di HPku menunjukkan pukul 8 lewat. Aku matiin hp itu dan tidur lagi. Selang beberapa detik saja telepon itu berdering lagi
     “Sialan,” gumamku. Aku mengalah. Kuraih juga hp itu.
     “Hoe kunyuk! Dah dapat untung lupa ama kita-kita. Dasar gak tau diri.” teriakan Ave langsung terdengar ketika aku mengangkat telponnya.
    “Mengganggu aja. Gue lagi tidur neh, please!” ujarku dengan nada melemah dan dengan nada sok innocent gak tahu apa maksudnya.
    “Emangnya gue pikirin. Cepat ganti dan ke tempat gue. Gak usah gosok gigi elo. Gak ada bedanya, kok”
    “Eh, eh, gak bisa, aku ada janjian ama si Fanya?” ujarku membohong.
    “Bohong, kayak gue gak tau aja. Lu tuh paling malas keluar hari minggu. Sekalipun ada pacar lu pasti gak berubah,” Ave membantah.
    “Lu bangun sekarang juga, trus mampir ke tempat Ave. Kita lagi nulis lagu baru, tapi butuh cerita elo Jumat kemarin sebagai bahan inspirasi. 10 minutes, ok.” Itu suara Dityo. Dasar gila, belum sempat gua respon, telepon dah dimatiin.

Dengan malasnya aku beranjak dari tempat tidur. Aku tahu si Ave ama si Dityo cuma mau dengar cerita date gue ama Fanya hari jumat, dua hari yang lalu. Ah, apanya yang mau diceritain. Toh, aku belum sempat bilang apa-apa ke Fanya.

Satu jam kemudian, aku tiba di rumah Ave, gak sepuluh menit kayak perintah Dityo.


***

    “Hei bro! What’s up? Loe kayak baru diputusin pacar aja. Padahal baru aja mulai.” Dityo langsung nyeropot.
    “Mulai apa-an, kita gak jadi.” Jawabku cuek. Ave ama Dityo nampak kaget.
    “Gak jadi? Elo ditolak, ya? Lu pasti kagak mandi San,” celoteh Dityo. Ave ketawa.
    “Kunyuk lu,” gerutuku.
Aku terus menceritakan apa yang terjadi. Ave meletakkan gitar yang dipangkunya ke atas meja, (guitar yang senar ke-1 sampe ke-3 dah putus). Semuanya mendengarkan ceritaku dengan serius.
    “Berarti lu belum mujur aja, gak pa-pa kok. Gak pas aja waktunya.” comment Ave kemudian. Aku menyulut rokok yang baru saja kuambil dari atas meja.
    “Ok deh, kalo gitu. Trus, dah telepon dia belum?” tanya Dityo antusias
    “Buat apa?”
    “Buat apa?” Mata Dityo tiba-tiba membesar. “Lu ini manusia ato apa? Lu bilang neneknya masuk rumah sakit. Tanya soal keadaan neneknya kek, apa kek. Bisa juga nanya udah makan belum? Udah berak belum, dah pipis belum. Plis, nunjukkin kalo lu tuh peduli ama dia. Payah nih, Fanya tuh ditaksir ama cowok bego kayak elo gak romantis, gak care, pemalas lagi” Jelas Dityo lagi. Aku hanya diam, sementara Ave sudah ngakak ketawa.
    “Gua dah habis pulsa.” Comment gue seadanya
    “Tuh liat, miskin lagi. Cik cik cik” Dityo menggeleng-gelengkan kepalanya sambil mendecak lidah. Aku gak tahu mau bilang apa. Dityo menyodorkan hpnya. Aku terima hp itu begitu saja, namun seketika aku kaget. Deg, aku gak pernah minta nomor Fanya. Shiiiit...... Ave dan Dityo juga gak pernah nyimpan nomor hp Fanya. Aku mengalah.
    “Ya udah, ketemu aja besok di sekolah, trus elo bisa nanya dia pipis berapa kali setiap hari.” Ave menengahi sambil meraih lagi guitarnya yang disimpan tadi. “Sekarang, back to work.” Aku menggaruk jidatku yang tak gatal. Emangnya selama ini aku selalu lupa nanya nomor hp-nya Fanya. Soalnya kita ketemuan setiap hari di sekolah jadi kayak gak ada need tuk nyimpan nomor Fanya. Tapi aku ternyata salah. Anyway.......
    “Nih, kita lagi nulis lagu, judulnya Hakarak O Hatene.” Ave menyodorkan selembar buraman kertas ke arahku. Ada beberapa baris kata tertulis di sana dengan coretan di sana-sini. Aku membaca tulisan di sana dengan malas-malasan gak punya selera.
    “Paling banter itu cuma reff melulu!” ujarku nyingir.
    “Lu baca dulu, trus beri comment soalnya elo tuh yang paling bisa ngerti karena pas banget dengan situasi elo, kampret!” Aku cuma senyum kecil dengan ucapan Dityo itu. Aku ternyata benar dengan dugaanku. Ayat lagu belum ada, cuma reff doang.
    “Gue cuma mau kasih comment aja. Sadar gak, kalo gak salah kumpulan reff lagu-lagu kita dah banyak, mulai dari tahun lalu. Tapi belum ada satu pun yang dah jadi satu lagu,” aku menghisap rokokku dan menghembuskan asapnya melingkar di depanku.
    “Ya seh, tapi soalnya, nulis satu lagu sekalian dengan ayat lengkap sama reffnya itu sulit.”
    “Mungkin kita coba focus ama satu lagu dulu, sebelum mau nulis lagu yang berikutnya,” aku membantah.
    “Lu tau gak, Bon Jovi dan Guns n’ Roses yang terkenal dunia aja, satu tahun nulis satu lagu bahkan kadang bisa sampe dua ato tiga tahun buat nulis satu lagu. Kalo lu buru-buru nulis 4 lagu dalam sebulan, ya sana lu ganti aja si Jino da Costa,” hardik Ave mulai memainkan intro lagu tersebut dengan jari-jarinya, sementara bibirnya lagi menggigit pick guitar. Aku mengalah.

Reff lagu Hakarak O hatene ternyata sederhana tapi bagus. Kata-katanya juga gak ribet. Tak lama kemudian, gue juga dah mulai ikut bernyanyi diiringi mainan gitar Ave.

Lagi asyiknya nyanyi, aku lagi-lagi dikagetkan oleh getaran hp di dalam sakuku. Kuraih telepon itu sambil liatin yang nelpon.
    “Siapa tuh? Matiin aja, ato bilang aja kita lagi sibuk!” perintah Dityo yang lagi asyiknya nyanyi.
    “Ini nomor baru. Gak tau siapa.” Aku terima juga telepon itu. Ave dan Dityo cuma cemberut tapi berhenti juga dengan gaduhan gitar.
    “Hallo?” jawabku penuh tanda tanya
    “Hi, aku Fanya. Ini San, kan?” Untuk seketika dadaku bergemuruh tak karuan. Aku kaget sampai hanya bisa melongo. Dari mana neh cewek dapat nomor gua?
    “Hello?” katanya lagi membuatku kaget.
    “Hai Fan, ya ya ya, bener ini aku San. Dari mana Fan tahu nomor gue? Gue kaget aja”.
Mendengar nama Fanya disebut, si Ave langsung mencibirkan bibirnya pada Dityo dengan mata melebar. Aku yakin, percakapanku selanjutnya pasti diikuti oleh keduanya. Aku cuek aja.
    “Oh, itu. Aku dapat dari Edi. Dia sering main game di sini sama Rudi adik gue. Kebetulan pagi tadi dia datang lagi, gua minta nomor kamu and dia sempat juga nganterin gue nemuin nenek di rumah sakit.”
    “Edi? Edi yang dari kelas B itu ya?” tanyaku agak kaget. Saat itu Ave dan Dityo kelihatan serius banget ngedengerin gua. Jujur saja, kekagetanku tadi belum sirna dan kini aku lagi-lagi kaget. Edi? Ada apa dengan Edi?
    “Iya, Edi yang mana lagi. Katanya ia juga teman San, Dityo dan Ave.”
    “O ya, ya...aku kaget saja, soalnya dia gak pernah cerita kalo dia sama kamu teman baik atau tetangga, atau apa-lah..” jawabku agak diplomatis.
    “Enggak juga sih! Aku sering lihat dia di sekolah, tapi kenal orangnya baru liburan natal kemarin. Waktu itu, Rudi pas ikut Christmas Carol dan Edi jadi pianist-nya, gitu. Katanya sih, rumahnya dekat rumah kita.”
    “Oh..!” aku cuma melongo, “anyway, gimana kabar nenek Fanya?” tanyaku berpura-pura mengalihkan pembicaraan, meski suaraku gak bisa menipu kalau aku masih kaget dengan keberadaan Edi di rumah Fanya. Yang lebih kaget lagi, Edi sering main sama Rudi, si kecil yang baru berumur tujuh tahun itu? Yang kita-kita tahu, Edi tuh gak suka sama game. Kayaknya ada yang gak beres, dan justru itu yang membuatku deg-degan.
    “Nenek belum juga sadar. Aku lagi di rumah sakit nih, nungguin nenek. Semoga aja dia cepat sembuh. Eh gini neh, gue mau nanya nih, lu dah bikin PR Sejarah buat besok itu ya? Aku sibuk banget dengan urusan nenek sampe gak ada waktu. Gua dah nanya si Edi sama teman-teman lain, tapi cerita mereka sama, belum kelar. Kalo gak keberatan, gue minta miliknya kamu. Mau copy.”
    “Boleh, gak pa-pa kok, aku dah selesai semalam. Esok gua copy untuk elo. Fanya tinggal ngumpul aja,” jawabku meyakinkan Fanya.
    “Oke deh kalo gitu. Aku ketemu San besok aja, bye.”
    “Hai Fan, entar. Ini nomor Fanya ya?” aku cepat memotong sebelum ia memutuskan telepon.
    “Yup!”
    “Ok thanks, bye!”
Aku langsung menatap Ave dan Dityo dengan mata melotot. Aku gak habis mikir soal Edi. Si Ave dan Dityo juga gak percaya setelah aku ceritakan percakapan gue and Fanya.

Selama ini, kita dah berusaha keras supaya si Edi tuh jauh dari Fanya. Eh, malah terbalik. Dia malah sering main ke rumah Fanya pake alasan main sama Rudi segala. Ini toh taktiknya yang gak asing lagi buat kita-kita. Tiba-tiba aku jadi takut kehilangan Fanya. Soalnya kalo si Edi udah mulai pedekate, pasti deh gak lama kemudian tuh cewek luluh. Apalagi kalo dia tahu gua lagi suka banget ama Fanya. Dia tuh pasti malah berusaha keras untuk bisa memastikan bahwa gue gigit jari. Dasar tu playboy kacangan. Aku tiba-tiba jadi benci sama Edi, padahal dia teman baikku sendiri. Ya Tuhan, sekali lagi kumohon, pleaseeeeeeeeee....

***

Pagi itu aku kembali menyusuri koridor sekolah bersiap duduk berlama-lama hanya untuk ilmu. Lima langkah menuju kelas, pandanganku tertuju pada bangku depan agak di bagian kanan. Ya, di situlah Fanya biasa duduk. Agaknya pagi ini aku berangkat agak pagi karena kelas masih sepi dan Fanya belum juga datang.
Aku meletakkan tasku di bangku pojok kiri dan mulai membuka koran yang sengaja kubawa karena kemarin aku belum sempat membacanya.
    ”Eh, da koran baru ya San?” tegur Siska teman cewek gue yang agak tomboy.
    “Yups… Kemaren lum sempet baca,“ jawabku.
    ”Pinjem donk, sebentar ajah,” sahut Siska seraya menunjukkan muka sok imut. Bibirku manyun beberapa senti namun luluh tiga detik selanjutnya. Kusodorkan koran tersebut dan secepat kilat Siska membawanya ke bangkunya.

Pukul delapan kurang lima menit, Fanya belum juga nongol. Ada apa dengan nih cewek? Aku mencari fotocopian PR sejarah buat Fanya dan kusimpan begitu saja di atas meja. Aku menoleh lagi ke arah Siska yang belum selesai baca koran tadi.
    ”Sis, udah belum?” tanyaku sembari menunjuk koran.
    ”Ahh… Bentar donk!” jawab Siska ketus.
    ”Uggh… Dasar!”
Siska hanya menoleh dan memasang senyum gak jelas, sama seperti tadi. Kukira dia emang obsesi untuk jadi imut.
Baru ketika tepat pukul delapan, koran itu dibalikin. Tapi pak Gulton, guru sejarah belum juga nongol. Aku mulai membaca koran itu daripada nganggur. Tiba-tiba Mario, teman sekelasku menghenyakkan pantatnya di samping gue. Mario adalah salah satu teman sekelasku. Tapi teman se-club di bola kaki sekolah sama si Ave dan Dityo. Aku dah tebak, mas dia mau liat SPORT section.
    ”Aduh, aku pusing banget San!” kata Mario sambil memegangi kepalanya.
    ”Aku juga sih sebenernya, tapi abis kena pesona Clinton, jadi agak berkurang deh,” jawabku seraya menunjukkan koran yang memuat foto Clinton, presiden Amerika terpilih ke-42.
    ”Eh…Clinton yah!” sahut Mario sambil melongokkan kepalanya ke koran yang kubaca.
    ”Iya…kemaren ndak sempet baca. Nih…biar nggak nganggur,” ujarku sambil menyodorkan bagian koran lain ke Mario plus sport section.
    ”He…he…,” ringis Mario.
Kurang dua menit kelas sudah mau mulai tapi Fanya gak juga nongol. Rupanya dia emang gak datang.

Dari jendela aku melihat pak Gulton, guru sejarah berjalan ke arah kelas kita. Langkahnya tegap dan mantap. Ketika ia memasuki kelas kita, semuanya pada diam.

Bersambung ....