(Kisah ini hanya fiktif belaka. Jika ada kesamaan nama, cerita
dan tempat, itu hanya kebetulan belaka. Penulis tidak bertanggung jawab jika
ada yang merasa dirinya diceritain)
“Hey
bro, kita mau ngisi acara apa ya?” tanyaku pada Leo sahabatku setelah jauh dari
kerumunan mahasiwa lain. Ia malah cuekin aku. Matanya lagi terpaku pada sesosok wanita
imut dan manis sedang utak-atik handphone-nya tak jauh dari tempat kita.
Hari ini hari penutupan orientasi kami sebagai mahasiswa baru tahun 2003 di UNDIL. Panitia meminta para mahasiswa baru membentuk kelompok dan membawakan acara seni dan pertunjukkan untuk pesta penutupan sebentar malam.
Hari ini hari penutupan orientasi kami sebagai mahasiswa baru tahun 2003 di UNDIL. Panitia meminta para mahasiswa baru membentuk kelompok dan membawakan acara seni dan pertunjukkan untuk pesta penutupan sebentar malam.
“Hoi,
kampret.. kita mau ngisi acara apa entar malam?” tanyaku lagi sambil tinju
lengannya.
“Ah lu…
gitu aja sewot… nanti aja dipikirin, ini lagi ada obyek menarik nih. Lu main
ganggu aja.” Aku ikut-ikutan lihat ke arah matanya. Tiba-tiba wanita itu balik ke
arah gedung utama dan hilang di balik
pintu..
“Nah tuh
kan? Gara-gara lu juga ngeliat. Makanya dia ngerasa dan pergi.” Tuduh temanku.
“Lho,
kok aku yang disalahin?” Aku menggelengkan kepala tak mengerti dengan temanku. “Lagian,
kata teman lain dia itu anak pengusaha export import mebel. Kalo lu? Baru aja
mau kuliah…itu juga dibayar oleh ortu elo.. lupain aja dech.” Sambungku lagi.
Leo meninju sikuku saja dan tersenyum cuwek.
“Lu
lihat aja nanti, gua mastiin kalo gua bisa kenalan dengan dia dan minta nomor
teleponnya..”
“Trus?
Lu mau ngapain dengan nomor hpnya”
“Ya
elahh.. tanya lagi.. dasar bego. Ya pedekate-lah biar bisa jadi pacar gue,
bego!” Leo nyerocos aja dengan wajah sinis. Sementara aku hanya tersenyum
mendengar ocehannya.
Tiba-tiba
si Roni dan si Jeca sahabat terdekatku udah mampir dekat aku dan Leo. Kita
berempat adalah anak band lokal di kota.
“Lu berdua lagi ngapain..? lagi
diskusikan acara entar malam itu ya?” tanya Roni pas udah bareng kita-kita. “Gini,
kita nyumbang lagu aja, kan kita anak band!” sambung Roni lagi dengan wajah
gembira.
“Iya elah, trus siapa yang mau
nyanyi? Penyanyi band kita kan bukan mahasiswa sini! Kalo dia nyanyi entar
malam, apa kata panitia?” Leo yang jawab. Aku diam saja..
“Eh, Toni, lu aja yang nyanyi,”
ngeledek Jeka ke arahku. Aku ketawa ngakak
“Serius? Lu mau semua orang pada
lari ya? Tau aja suaraku kayak meriam bambu, lu nyuruh gue nyanyi. Lu sakit
jiwa kali ya?” sahut aku sambil melotot ke arah Jeka yang lagi ketawa kegelian.
Leo dan
Roni ikut-ikutan ketawa.
Setelah
beberapa menit diskusi kita malah bingung. Mau undang penyanyi band kita, pasti
tidak disetujui panitia. Kita semua mengalah. Aku akhirnya memutuskan ke kios
di depan kampus untuk beli rokok, daripada bingung mikir.. siapa tahu rokok
bisa membantu buka pikiran.
“Hey, kamu Toni ya? Cowok yang
kemaren dipaksa ketawa 10 macam itu kan?” tiba-tiba ada suara di belakang aku
pas aku lagi nunggu uang kembalian dari pembelian rokokku di kios. Aku balik
dan melihat sumber suara itu. Hmm.. di depanku sudah berdiri seorang cewek
manis, hidung bangir dengan kacamata minus. Itu dia, cewek yang tadi
diperhatikan oleh Leo. Tubuhnya kecil keimutan. Wajahnya emang manis dan
cantik.
Ia masih
ketawa, barangkali masih ingat gimana aku dikerjain sama senior kemaren
gara-gara lupa make papan namaku di dada.
“oh iya, itu aku! Kok ketawa”
sahutku pura-pura malu..
“Hehe..” ia melihat ke arahku dan
tertawa..”maaf, aku masih ingat kemaren kamu ketawa itu, soalnya lucu,”
tambahnya lagi.
“Senang ya kamu, bisa ketawain aku..itu
namanya bahagia di atas penderitaan orang lain” jawabku sok akrab.
“eh, ngomong-ngomong kamu bawa acara
apa entar malam? Aku sendiri bingung mau bawa apa. Gak ada teman lagi.”
Potongnya dengan wajah mencoba serius.
“iya.. aku juga bingung.. maksudnya
kita ada kelompok band nich, tapi gak ada penyanyinya..” sahutku asal saja.
“Oya? Boleh nggak aku gabung ama
kelompok kamu. Aku bisa nyanyi kok?” Ia melihat persis di mataku meminta dengan
sungguh-sungguh. Aku sendiri tak percaya…
“Serius? Kamu bisa nyanyi? Wah pas
banget.. Sini aku perkenalkan kamu ke teman-temanku. Btw, aku sendiri Toni,”
aku menyodorkan tanganku.
“Serius.. aku sering nyanyi di
SMA-ku kok. Suaraku gak bagus sih.. Cuma aku suka nyanyi..aja. Aku Mirna.” Dia
menyambut tanganku dengan lembut.
“Ah gak pa pa. Kita juga bukan
pemain band yang profesional kok.. Cuma hobi. Tapi aku yakin kamu pasti punya
suara bagus. Tapi.. gimana ya… ada syaratnya!” Sahutku seadanya sedikit
menggoda.
“syarat apa lagi?”
“Kamu janji gak akan ketawain aku
lagi, soal aku dihukum kemaren oleh kaka senior kita itu?” aku tersenyum.
“Ok deh, aku janji!” Ia senyum.
Hmm
temanku Leo pasti senang nich.. soalnya dia bisa kenalan dengan cewek ini.
Apalagi barengan dalam band kita. Aku tersenyum senang.
Sambil
mengisap rokokku aku akhirnya kembali dengan Mirna dan memperkenalkan dia ke
teman-teman anggota band lainnya. Aku bisa melihat wajah Leo girangnya bukan
main.
“Makasih kawan, lu udah bawa dia ke
sini. Gimana caranya lu minta dia kemari? Gimana lu tau dia bisa nyanyi?” Leo
menyikut tanganku dan berbisik pas kita lagi berduaan saja.
“Gue ada caranya.. bukan kayak lu
yang cuma bisa ngelihat dari jauh aja.. gue minta kenalan dong! Trus gue tanya
apa hobinya.” jawabku bohong.
Kita kemudian
berlatih beberapa lagu dan akhirnya memutuskan untuk membawakan dua lagu saja
untuk acara malam nanti. Puji Tuhan, Engkau memperkenalkan Mirna pada kami pada
saat yang sangat tepat, bisikku dalam hati. Suaranya asyik, ditambah tubuhnya
yang mungil, aku yakin show kita malam nanti pasti akan menarik buat anak-anak
sekampus. Sehabis latihan Leo dan Roni bertemu dengan panitia untuk
mendaftarkan acara kita.
* * *
“Makasih
dan selamat ya. Penampilan dan suara kamu tadi bagus banget” aku menyodorkan
tanganku buat Mirna persis kita selesai show di sela-sela bisingnya para
penonton lagi bersaut-sautan. Serius, suaranya malam itu enak banget didengar.
Penampilannya malam itu juga membuat dia kelihatan manis dan cantik. Aku yang
main bass kadang jadi lupa ke mana jari harus pergi untuk nada selanjutnya.
“Sama-sama..
ah kamu bisa aja. Kamu juga hebat kok, aku tadi yang nyanyi bisa dengar suara
bentotan bass kamu.” Katanya juga memuji, aku hanya tersenyum. Aku melihat
wajahnya lagi.. ya ampuun… wajahnya manis sekali apalagi dengan lampu sorot
yang menerpa wajah dan poni rambut di jidatnya. Pantasan si Leo matanya
jelalatan tadi siang. Kok aku baru sadar ya.
“Eh,
bantu aku turun dong.” Katanya sambil memegang tanganku erat mau melompat turun
dari panggung. Aku kaget dari lamunanku.
“Oh iya..” aku membantunya turun dari panggung.
Hanya
dalam sekejap ia sudah berada di bawah panggung. Aku hanya bengong. Para
penonton masih berteriak girang dan suit-suitan karena show kita tadi.
“Toni,
aku pengen pipis dulu ya. Bentar aja! Nanti aku balik ke sini” aku mengiyakan
dan ia menghilang di kerumunan penonton.
“Hoe
Toni, lu ngapain situ, bantu kita dong, beresan panggung ini, soalnya masih ada
acara dari anak-anak lain,” teriak Roni dari arah belakang.
Aku naik
lagi ke atas panggung membantu membereskan gitar, drum dan alat music lainnya.
Sehabis beresin semuanya, aku ke belakang panggung. Di sana Mirna sudah balik menunggu
ditemani Leo.
Tiba-tiba
ada yang menyesak di dada, aneh ya, kok bisa? Kenapa tiba-tiba aku jadi gak
suka ngelihat Leo dengan Mirna ya? Apa aku mulai suka sama Mirna? Ah, gak
mungkin.. aku membisik dalam hatiku. Kuharap itu takkan terjadi, nanti aku
dibilang teman makan teman lagi.. kan aku udah tau kalo si Leo yang naksir
banget ama cewek itu. Huff….
“Masih
mau nonton acara lain sekalian nunggu acara dansa nanti ya?” tanyaku pas tiba.
“Kan aku
lagi nunggu kamu! Sekalian nunggu mobil jemputan papa,” sahutnya memandang
sekilas ke arahku,
“Emangnya
mau pulang sekarang ya?”
“Iya, papa
masih ada urusan setelah ini, jadi sekalian aja. Kamu nanti pulangnya dengan
apa?” tanyanya.
“Dengan
motor, sama juga kayak si Leo, dia juga dengan motor,” jawabku menyebut nama
Leo, soalnya dari tadi dia kayak dikucilkan dari pembicaraan.
“Wah,
kalo gua tau dari awal kalian ada motor, gua udah batalin jemputan dan pulang
bareng kalian aja. Tapi waduh… papa udah di tengah jalan.”
“Yah
udah, lain kali aja, kan kita masih sekampus…emangnya dia dari arah mana?”
tanya Leo ikut dalam pembicaraan.
“Dari
arah Comoro. Kan Mirna tinggal di Delta.”
“Was pas
dong. Kita berdua juga dari Comoro.. lain kali aku yang antar ya!” ujar Leo
lagi senang.
“Ok deh,
tapi boleh gak kalian berdua temanin aku ke depan sana nungguin papa aku
sekarang?”
“Yah
boleh dong” sahut aku dan Leo bersamaan.
Leo menyikut lenganku pas Mirna balik membelakangi kita. Dia kelihatannya
girang bukan main.
Tak lama
kemudian, jemputannya datang. Setelah pamit dia pergi meninggalkan aku dan Leo.
Mobil sedan biru gelap itu pun berlalu menghilang di tengah malam. Aku
memandang Leo dan tersenyum. Ia balik melihat ke arahku.
“Napa lu seyum-senyum lihat gue?” Leo
bertanya sambil tersenyum.
“Ah ga papa, Cuma mau lihat saja teman gue
yang lagi happy, emang gak bisa ya?”
“Yah boleh lah.. Cuma takut aja, dia
kayaknya lebih dekat ama elo tuh..” kata Leo lagi agak cemberut.
“Ah lu bisa aja.. itu perasaan kamu aja.
Dia baik ama aku mungkin karena aku yang kenal dia duluan..” jawabku membela
diri.
*
* *
Sudah
persis seminggu sejak konser acara penutupan orientasi mahasiswa baru itu.
Entah kenapa, kuliah belum berjalan semestinya. Mahasiswa masih pulang pergi
ikut bimbingan dari dosen soal mata kuliah mana yang harus dipilih.
Aku
masih malas-malasan untuk ketemu dosen pembimbing sementara teman-temanku yang
lain semuanya sudah pada beres dengan urusan bimbingan.
Setelah
parkirkan motor bututku aku menyusuri lorong kampus ke arah ruangan dosen
pembimbingku dengan mode malas-malasan.
“Hey bro.. udah bimbingan belum?”
tiba-tiba terdengar suara Jeca dari arah samping kanan. Dia lagi barengan
dengan anak-anak lain yang tak aku kenal.
“Ini baru mau ke sana. Lu lihat Leo
sama Roni gak?” aku balik bertanya.
“Enggak.. tapi kayaknya mereka
berdua udah bimbingan. Tinggal masuk kuliah aja minggu depan. Eh, tapi kalo lu
nanti milih kelas, milih kelas A ya.. kan kita-kita di sana juga”
“Enak aja, terserah dosennya dong”
“Yah udah, si Mirna juga di kelas A
kok!” sahut Jeca lagi memancing. Mendengar nama Mirna, aku langsung kaget.
“Oya?
Yang benar?”
“Tuh
kan. Baru aja dengar nama Mirna, mata kamu membulat besar kayak buah lemon aja,”
kekeh temanku Jeca. Sialan.
“Ah lu
bisa aja ngerjain gua. Emangnya lu tahu dia di kelas A.”
“Nggak
juga sih. Cuma bercanda, aku belum pernah lihat dia di kampus ini.”
“Iya..
sama dong. Mana belum tahu nomor teleponnya lagi.” Jawabku kesal
Setelah
basa-basi sebentar, aku beranjak masuk menemui dosen pembimbingku. Aku berhasil
mendalftarkan semua mata kuliahku dan yang paling penting, aku berhasil juga mendapatkan
kursi di kelas A. Ini berarti aku bisa barengan sama teman-teman gadunganku
lagi. Setengah jam kemudian aku udah keluar. Dalam hati aku berharap-harap
semoga si Mirna juga sekelas dengan kita di kelas A.
Aku
langsung sabet sepeda motorku dan menuju Nila Sari buat beli bakso. Setelah
parkir di depan Nila Sari, aku berjalan dengan gembiranya memasuki warung tempat
biasa anak muda nongkrong waktu itu. Pas di pintu masuk, aku jadi kaget bukan kepalang.
Gila, si Leo emang nekat ya. Gak nyangka dia memang benar-benar udah barengan
dengan si Mirna. Di sana di bagian paling pojok dekat kasir, Leo lagi
asyik-asyiknya ngobrol dengan Mirna sambil nyeruput es teh. Mangkuk di depan
mereka sudah tampak kosong. Ini berarti mereka sudah di sana paling kurang
setengah jam lebih. Mungkin juga udah berjam-jam.
Aku
meneliti mereka beberapa saat sebelum mendekati dan bergabung dengan mereka. Baru
aja kenal minggu lalu, sekarang keduanya kelihatan sudah akrab sekali kayak
sahabat lama. Aku agak iri sih, tapi di satu sisi aku senang, teman gue Leo
bisa dapatkan apa yang dia inginkan. Di sisi lain, kok aku gak enak ya, kalo
ngelihat keduanya berduaan. Something must be wrong with me.
* * *
Kuliah
sudah berjalan kira-kira tiga bulan. Aku senang, ternyata aku sekelas dengan
Mirna, hari-hari kuliahku jadi asyik dan menyenangkan. Aku juga akhirnya
berkenalan lagi dengan Kelly, sahabat dekat si Mirna. Bersama Mirna, Leo dan
Kelly, kita berempat selalu kompak, kemana-mana selalu berempat. Leo bareng
Mirna dan aku sama temannya Kelly boncengan motor. Apalagi setelah teman kita
Roni dan Jeca mulai gak aktif lagi kuliah karena kerjaan mereka, kita berempat
jadi lebih akrab, dan malah udah kayak dua pasangan yang kompak. Leo dan Mirna,
aku dan Kelly. Meskipun semuanya cuma teman buat gue, dan kita semua hanya
empat sekawan, itu saat-saat paling menyenangkan dalam hidupku. Kadang aku juga
rindu teman Roni sama Jeca.. ah.. gak apa-apa yang penting sekarang ada Leo,
Mirna dan Kelly.
Sebagaimana
udah dijanjikan di malam penutupan orientasi, Mirna udah gak lagi dijemput sama
bokapnya, kadang ia diantar sama teman gua Leo, kadang juga aku kebagian antar
kalo si Leo-nya lagi ada halangan. Tapi aku biasanya kebagian ngantar si Kelly.
“Hey Toni, gimana menurut elo
tentang aku ama Mirna?” tanya Leo tiba-tiba kepadaku suatu malam pas
setelah nganterin keduanya pulang ke rumah.
“Maksud kamu, pacaran gitu?” aku
balik bertanya. Hatiku sedikit tersayat karena pertanyaannya. Bagaimanapun
juga, aku gak bisa membohongi diriku sendiri kalau aku udah mulai menyukai Mirna.
“Iya, emangnya apa lagi. Menurut
kamu si Mirna itu juga demen sama aku gak ya?”
“Iya pasti dong, kan dia selalu
bareng kamu kalo pulang ke rumah. Emang kamu belum nembak ya?”
“ya barengan itu kan karena kita
udah temanan. Kalo bukan dengan kita-kita dengan siapa lagi. Kan kita adalah
teman dekatnya, sama si Kelly juga,” jawab temanku Leo kelihatan bingung. “Aku
sih bingung, mau nembak tapi khawatir kalo dia anggap aku teman aja, ndak lebih.”
sambungnya lagi.
“Waduh, jadi ceritanya elo berdua
belum jadian ya? Aku kira elo berdua udah jadian selama ini. Ya udah, lu nembak
aja lain kali. Menurut aku, dia juga demen tuh sama kamu.”
“Gak tau deh. Aku cuma khawatir kalo
nanti kehilangan semuanya,” ujarnya lagi
“Maksud kamu?”
“Yah, kalau aku nembak terus aku
ditolak, gimana nantinya pertemanan kita. Aku jadi gak enak dekat dengan dia.
Trus kalo aku tiba-tiba aja menghindar juga gak enak. Aduh pusing gua.”
“Hey gini, jadi cowok itu, harus
berani, jangan loyo kayak gitu. Kata orang, kalo mengira dia menolak tanpa
mencoba, maka jawabannya adalah 100% ditolak. Kalo lu coba utarakan perasaan
elo, lu ada kesempatan 50% diterima”
“Ya deh, tapi gimana bilangnya ke
dia ya?”
“Gini,
gak usah banyak mikir, pas lu berduaan
utarakan aja, kalo loe udah lama menyimpan perasaan buat dia. Loe gak bisa
terus-terusan bohongin diri elo kalo loe benar-benar suka sama dia. Gak usah
pake rumus matematika segala. Simple aja. Trus, terserah dia mau bilang apa.
Aku yakin jawabannya pasti positif,” jelasku.
“Oya,
besok kan kita janjian olahraga pagi di pantai. Beri aku kesempatan dong,
mungkin ini saatnya,”
“Maksud
kamu aku sengaja batalin jemput Kelly, biar kamu dan Mirna sendirian, gitu?”
aku bertanya.
“Nah,
benar kan, gua bilang, lu emang pintar nebak maksud gua. Please ya…!” katanya
sambil tersenyum meminta.
“Ok deh,
buat teman aku rela, tapi… gimana caranya batalin si Kelly ya?”
“Walah, itu
sih gampang. Kita kan janjinya ketemuan di pantai jam 7 pagi… nah, lu telpon
aja dia sekitar jam 7an, pas kira-kira aku dan Mirna udah di pantai, trus
bilang aja, kalo lu lagi gak enak badan, atau perut mules atau apalah”
“Ok deh,
beres..”
“makasih
banget, ya Toni. Lu itu teman gua yang paling baik.”
Teman
gue kelihatan benar-benar senang dengan rencana kita. Ia meninju bahuku dengan
bahagianya. Aku hanya bisa tersenyum sedikit trus jadi linglung. Benar ya,
mulai besok, Mirna udah bakal resmi jadi pacarnya Leo, pikirku agak sedih dalam
hati.
“Eh, tapi gimana dengan lu ama
Kelly?” tiba-tiba Leo bertanya ke arahku
“Maksud loe?”
“Maksud gua sih, kalo aku jadian
sama Mirna, lu jadian aja sama Kelly. Kan elo juga yang sering antar jemput
Kelly, lu demen kan sama dia?”
“Demen? Gila lu, gua anggap dia cuma
sebagai sahabat. Gak lebih. Trus dia juga katanya lagi senangnya ngejar-ngejar
Beny, itu cowok yang katanya ganteng selangit. Masih ingat kan?”
“Bisa aja lu, itu cuma trik cewek
aja, untuk ngecek aja reaksi elo,” Leo senyum lebar ke arahku.
“Lu kayak ahli psikologi cewek aja
ya. Padahal tadi aku yang nasehatin kamu..”
“ha ha ha.. gak juga sih.. tapi loe
suka sama dia kan?” Leo mulai menggoda aku lagi.
“Leo, udah kubilang, dia itu aku
anggap cuma sebagai teman, tidak lebih.” Gak tau kenapa, aku gak ada perasaan
sama dia,” jawabku. Kalau mau jujur sih, perasaan aku justru ke Mirna, bisikku
dalam hati.
“Tapi dia cantik kok. Lu tau sendiri
kan, banyak cowok di kampus kita yang tergila-gila dengan dia? Aneh, teman gue
sendiri, gak demen sama cewek secantik Kelly,” kata Leo lagi seolah berbicara
pada dirinya sendiri. Aku menunduk cuma tersenyum. Dia benar, Kelly emang
cantik dan manis juga. Tapi entah kenapa, perasaanku gak ke sana ya. Justru
hatiku malah tertaut dengan Mirna.
“Aku udah bilang jujur ke kamu
bahwa, ndak kan?”
“Ya udah, kalo gitu, aku pamit dulu
ya, tapi lu jangan lupa besok ya, lu harus batalin jemput Kelly buat olahraga
pagi, biar aku bisa berduaan saja sama si Mirna,” jelasnya lagi.
“Beres bro.. gak usah khawatir,”
Setelah
basa-basi sebentar aku pun balik ke rumah dengan rasa berat di dada. Bagaimanapun
juga, aku gak harus bilang ke Leo kalo aku juga mulai suka sama si Mirna.
Mendingan gak ada yang pernah tahu.
* * *
Hari
senin adalah hari yang paling kubenci. Ada kelas padat di sekolah, lebih
parahnya lagi, hari itu aku tak pernah melihat batang hidung Mirna, Leo dan
Kelly. Pada kemana semua anak-anak ini. Masak sih, baru jadian pacaran, mulai
lupa sekolah, pikirku gak karuan. Dasar si Leo dan si Mirna, udah jadian
pacaran sampe lupa kita-kita.
Setelah
selesai kuliah, aku menyusuri lorong kelas sendirian dengan lesu. Tak biasanya
aku seperti ini, lebih pasnya tak biasanya aku sendiri di kampus seperti ini.
Biasanya pasti bareng kawan-kawan dekatku Mirna, Kelly dan Leo. Hufff… aku
menghembuskan nafas berat. Saag-saat seperti ini aku jadi teringat
sahabat-sahabat lamaku seperti si Jeca dan Roni.
Baru
saja mau melangkah keluar pagar kampus menuju motorku, kulihat Mirna lagi duduk
di bangku panjang yang sengaja dipasang di bawah pohon mahoni bagian kiri dekat
pintu gerbang.
“Lho, kok gak masuk kuliah tadi,
Mirna?” tanyaku agak gagap.
“Lagi bete, malas!” jawabnya.
“Ya ampun.. gak enak banget
sendirian tanpa kalian semua. Trus, si Leo-nya mana?”
“Leo gak masuk kelas ya?”
“Lho, kok malah balik tanya gue, lu
kan yang biasanya jalan bareng Leo! Lu gak telpon dia ya?” tanyaku bingung.
“Tadi aku telpon dia, tapi
teleponnya dimatiin, gak tahu kemana tuh anak. Eh Toni, aku bête banget.”
“Kenapa? Kalo bete ya kenapa
susah-susah ke kampus. Ke sini juga sama aja, lu gak masuk kelas kan jadinya?”
“Waduh, di rumah mah malah lebih bête,
aku bisa cepat tua, dengar ocehan mama yang gak karuan gitu.”
“Emangnya ada apa sih? Kok bête
siang-siang gini. Lu tuh yang selalu ceria. Kalo lu bete, siapa lagi yang mau
hidupkan suasananya?” kataku asal saja.
“Eh, Toni, jalan-jalan yuk.. kita
makan di warung Malang dekat lapangan pramuka sana. Temani aku dong” ajaknya.
“Ya udah, bidadariku yang lagi bete.
Gua temanin, tapi.. harus ceritakan ke gue, kenapa bete” kataku mengalah tapi memberi
syarat.
“Iya pasti dong..”
Setelah
tiba dan memesan makanan kesukaan kita, Mirna langsung menyodorkan kedua
tangannya ke aku.
“Coba lu pegang tangan gua sekarang”
katanya.
“Buat apa?”
“Pegang aja dulu!” Aku menuruti
permintaannya. “Gimana? Aku waras kan? Aku manusia normal kan?” tanyanya lagi.
“Hah? Maksud loe apa sih? Aku gak
ngerti!”
“Yah, aku juga gak ngerti… serasa
aku gak normal deh!” ujarnya lagi.
“Mirna, kamu ini aneh-aneh saja.
Kamu suruh aku pegang tangan kamu, terus tanya aku dengan pertanyaan
macam-macam. Kamu gak kenapa-kenapa ya?”
“Waduh Toni, aku bingung.. saking
bingungnya, aku gak tau mau cerita ke kamu gimana.”
“Mirna, kalo kamu ada masalah, boleh
kok kamu curhat ke aku. Jangan bikin aku tambah bingung kayak gini. Ada perang
di rumah kamu ya? Atau lu belum bayar SPP dan mau pinjam uang gua ya?”
“Bukan.. dasar..lu. hmm.. gimana ya?”
katanya lagi sambil berhembus nafas panjang kemudian menunduk seperti orang
kebanyakan mikir. Kedua tangannya masih dalam genggamanku.
“Ok, gini.. ambil napas dalam-dalam,
trus hembuskan perlahan-lahan. Trus kalo udah ok, baru kamu bicara,” usulku. Ada
apa sebenarnya dengan ini anak.
“Toni, kamu harus janji ya sebelum
aku cerita, bahwa kamu gak akan pernah anggapin aku teman yang gak baik. Please…
aku mohon,” pintanya setelah diam beberapa detik.
“Lu dinodai sama cowok gak dikenal
ya?”
“TOniiiiiiii., yang pasti bukan…!
Tapi kamu janji dulu.”
“Ok ok. Aku janji, dengan sepenuh
hati” aku memandang wajahnya dengan serius.
“Tahu kan sabtu kemaren? Waktu kamu
dan Kelly gak jadi lari pagi bareng aku dan si Leo?” tanyanya memulai. Deg,
tiba-tiba jantungku berdetak kencang. Aku pura-pura melepaskan tangannya
perlahan, gak mau kalo dia bisa ngerasain denyut nadi di tanganku yang
tiba-tiba jadi cepat.
“Iya.. emangnya kenapa?” tanyaku
penasaran.
“Iya, aku cuma sendirian sama si Leo
gara-gara kamu gak datang.”
“Kan aku udah bilang aku lagi gak
enak badan.”
“Iya.. dengar dulu.. cerita gua.
Bukan itunya yang jadi masalah,” potongnya, “si Leo nembak aku kemaren..”
“Wah bagus dong…!”
“Lho… kok kamu gak kaget sih?”
“Ngapain kaget.. aku setuju banget..
itu bagus dong buat kalian berdua.”
“Itu masalahnya, makanya aku tanya
kamu emang aku masih normal ya? Aku gak jahat kan? Please Toni….” Ujarnya
sambil meraih tanganku lagi dan menggoyangkan tanganku dengan wajah memelas.
“Maksud kamu……. kamu nolak gitu?”
tanyaku gak sabaran.
“Boleh dibilang gitu sih… Toni.
Soalnya gimana ya, aku udah anggap kita semua sebagai teman. Aku rasa aneh
gitu, kalau tiba-tiba kita jadi pacaran, gak enak dengan teman semua.. aku
bingung… makanya aku nanya, aku masih normal kan?”
“Mirna, kamu harus jujur dengan diri
kamu sendiri. Gak usah peduli dengan kita-kita. Kalo kamu juga suka dengan dia,
gak apa-apa kok kalian pacaran. Kalo emang kamu gak ada perasaan ke dia, kamu
juga harus jujur dengan diri kamu dan dia, biar dia tahu..”
“Itu sih, aku gak ada perasaan ke
dia..sih,” katanya lagi sambil menutup matanya dan membuat bibirnya kayak orang
kepedasan..sambil kernyitkan kening. “Trus aku harus gimana, dong!”
“Gimana gimana maksud kamu? Kamu
jawab apa ke dia?”
“Aku bilang aja ke dia, aku anggap
dia sebagai sahabat terbaikku. Dan aku gak mau kehilangan sahabat. Karena kalo
pacaran trus kalo akhirnya gak cocok, dan kemudian putus, aku pikir jadi
sahabat pun susah jadinya. Dan aku gak mau kehilangan seorang sahabat”
“Trus, apa jawab dia?”
“Dianya diam saja, aku mencoba
meminta maaf. Dia bilang gak apa-apa.. Cuma aku gak tahu harus gimana, ketemuan
dengan dia lagi di kampus. Tapi aku gak mau kayak gini. Aku mau kita kayak dulu
lagi. Bebas bercengkerama” ujarnya..
“Aku juga bingung Mirna, harus beri
komen apa.”
“Tapi aku gak jahat kan sama dia?
Dan aku masih normal kan?” tanyanya lagi cemas.
“iya iyalah, kamu masih normal 100
persen, dan kamu gak jahat. Jadi, itu alasan kamu hari ini gak masuk kelas?”
“Iya. Habis tadi aku telpon dia,
hpnya dimatiin. Aku jadi merasa bersalah” jawabnya dengan senyumnya yang
biasa.. manis..
“Ah, gitu aja lu udah kayak orang
kesetrum listrik.. santé aja.. kita gak bisa memaksakan cinta.. Dan dia pasti
tahu itu. Nanti juga dia akan baikan lagi dengan kita-kita.”
“Trus kalo ketemu dia, aku harus
gimana?” tanyanya lagi.
“Yah biasa aja. Pura-pura aja kayak
gak pernah terjadi apa-apa. Dan aku pun akan pura-pura aja kayak gak tahu.
Gampang kan?”
Mirna
menarik dirinya sedikit ke belakang karena mbak pemilik warung itu akhirnya
datang dengan pesanan kita dan hendak meletakkannya di meja kami. Asyiik…
lalapan kesukaan gua.
“Mbak, minta ditambahin sambalnya
iya!” pesan Mirna sebelum mbak itu menghilang ke dapur kecilnya. Mbak itu hanya
mengangguk senyum.
“Walah… teman gue kalo bête kayak
gini, sambalnya 3 mangkuk juga bisa diabisin, hahaha,” aku mengoceh dan
langsung disambut dengan cubitan manja dari Mirna.
“Kamu bikin aku malu saja..”
Aku
pura-pura meringis kesakitan. Aku senang ia bisa tersenyum lagi, gak kusam
kayak tadi aku lihat di kampus. Wajahnya ceria kembali.
“Udah baik kan? Gak bête lagi kan?
Tuh wajah kamu gak kusam lagi kayak pakaian yang gak disetrika.”
“Iya dikit, thanks to you. Emangnya
tadi wajah aku kusam banget ya?” tanyanya dengan senyum manisnya yang pernah
aku kenal.
Aku
meneliti setiap lekuk wajahnya. Dia benar-benar manis dan cantik. Apalagi kalo
dengan wajah gembira seperti ini. Ia malah melotot ke arahku karena tingkahku.
“Hmm, kayaknya lu lebih bagus bête
aja lagi. Kayaknya lebik pas buat elo,” godaku membohong. Ia cuekin aja
omonganku dan melahap sisa makanan dan sambal tambahan yang baru saja dibawakan
oleh mbak pemilik warung.
* * *
Setelah
kejadian itu, banyak yang berubah dan kelihatannya Leo mencoba untuk
melupakan apa yang terjadi, begitu juga dengan Mirna. Tapi bisa terasa bahwa
hubungan mereka gak seperti dulu lagi. Leo mulai jarang-jarang masuk kelas,
atau kalau pun datang, selalu saja ada alasan untuk pulang lebih dahulu. Dia mengaku
ke aku beberapa hari lalu bahwa ia sedikit patah hati dan ia mencoba sekeras
mungkin untuk bangkit lagi. Aku hanya bisa mendukungnya dengan kata-kata.
Kadang
kita jadi rindu sama Leo, tapi apa mau dikata. Dua hari yang lalu katanya dia udah dapat kerjaan
paruh waktu dekat rumahnya dan mulai masuk kuliah kelas malam. Dengan hilangnya Leo di kampus kelas pagi, aku jadi lebih dekat dengan Mirna. Aku jadi sering
menghabiskan waktu bersama Mirna karena Kelly juga bisa ngerasa kalau aku mulai
menyukai Mirna.
Aku
seharusnya gembira bahwa aku bisa lebih dekat dengan Mirna, tapi dalam hati aku merasa tidak
nyaman. Pertama, Mirna orang yang bertipe ‘gak mau teman sendiri jadi pacarnya’.
Kedua, cowok yang ditolak Mirna itu teman gua sendiri. Gimana nantinya kalo aku
jadian sama Mirna, apa kata Leo nanti buat aku. Aku bisa dibilang teman makan
teman. Aku berada dalam posisi dilematis.
* * *
Aku baru
saja selesai bersihkan kebun sayur di belakang rumahku. Tiba-tiba hp di dalam
celana pendekku berdering. Ternyata dari Mirna.
“Hello? Ada apa?” jawabku.
“Toni, bantuin aku dong, kamu harus
datang ya. Aku tunggu kamu di pelabuhan sekarang juga.”
“Hah? Sebentar, emangnya ada apa di
sana? Kamu ditangkap polisi ya?”
“Enggak, aku baik-baik saja, aku
Cuma mau kamu temani aku di sini, di acara papaku. Please..” mohonnya.
“Acara apa-an? Di pelabuhan lagi. Lagian,
ini aku baru habis kerjaan di kebun, belum mandi, badan aku lagi belepotan
lumpur.”
“Pokoknya acara keluarga. Aku mau
kamu temani aku, please.. Biar aku gak sendirian. Tau kan kalo acara orang tua,
tamunya semuanya orang tua. Kamu gak usah mandi juga gak apa-apa? Cuma sebentar
kok”
“Wah gak bisa.. kalo di sana ada
cewek cantik aku mau, tapi kalo semuanya tua-tua, aku juga gak mau. Kamu ajak
si Leo aja. Lagian, kalo dia tahu aku sama kamu nanti dia mengira yang
tidak-tidak lagi”
“Kok ngomong si Leo sih? Aku mau
kamu temani aku bentar saja. Aku janji, acaranya gak sampe sejam kok. Trus
senin nanti aku traktir kamu makan malam, gimana?”
“Hmm, gila lu? Tetap aja aku gak mau”
ujarku.
“Please.. kamu temanku yang paling
baik. Kamu gak mau kan kalo aku nanti dikenalkan sama bapak-bapak tua di sini. Trus
nanti mereka goda-godain aku lagi. Please dong.” Aku termenung berpikir
sebentar.
“Ya udah, satu jam lagi aku ke sana.”
Dasar.. alasannya tak masuk akal, tapi tak apalah. Aku menurut saja, daripada
nanti dipecat habis-habisan oleh dia senin di sekolah nanti.
“Jangan… kamu datang sekarang saja.
Aku tunggu sekarang juga di depan pelabuhan. Makasih ya, Toni, kamu sahabatku
yang paling baik.” Click… teleponnya dimatiin.
Gila,
nih anak… belum aku jawab apa-apa teleponnya dimatiin… Acara apa ya? Aku
bingung.. di pelabuhan lagi? Emangnya di dalam rumah, atau di pinggir pantai di
pelabuhan aku juga gak tau.
Aku
bergegas membereskan alat-alat kebunku dan membasuh lumpur dari tubuhku
seadanya, tanpa mandi. Dalam waktu 10 menit aku sudah tiba di pelabuhan. Mirna
sudah menunggu di sana dengan senyumnya yang biasa. Ia kelihatan makin manis
dengan dandanan pestanya malam itu. Sementara aku? Hmm masih bau lumpur dan bau
keringat. Gila, dianya rapi banget…
“Kamu lama banget tapi aku senang
akhirnya kamu datang juga.” Katanya sambil menggandeng tanganku sambil
melaporkan diri ke security yang ada di situ.
“sepuluh menit aja dibilang lama.
Nih, aku udah bela-belain gak mandi. Emangnya ada acara apa nih?” tanyaku
setelah dipersilahkan oleh penjaga pelabuhan untuk masuk.
“Papaku baru beli dua perahu angkut
untuk bisnis perusahaannya. Jadi ada semacam acara pemberkatan dan launch gitu.”
“Gila lu. Trus aku datang dengan
kondisi seperti ini? Aku mau balik ah” protesku.
“Eit, kan lu udah ada di sini.. gak
apa-apa kok. Lagian acaranya di pantai sana bukan di dalam ruangan. Biar Cuma
dengan celana pendek, kamu tetap kelihatan keren kok, hehehe.” Kekehnya menghentikan
aku sambil melihat penampilanku sepintas. Aku tersenyum sedikit. Apa iya ya,
aku dibilang keren? Hmm…bagaimanapun juga aku sedikit tersanjung, dia mau menerimaku apa adanya, malah mau membawa aku ke acara bokapnya dengan keadaan aku seperti ini. Jangan.. jangan...dia juga deman sama aku ? Ah gak mungkin. Mungkin hanya pikiranku saja.
Aku
benar-benar gak enak dan gerogi karena orang-orang semuanya di sana berpakaian jas
rapi. Tapi untunglah, Mirna selalu berada di sampingku dan setelah ketemuan
sama papanya, kita beringsut agak jauh berdiri berduaan di tepi pantai gak
ambil pusing dengan acara papanya. Dua perahu yang dimaksud itu kelihatan keren..
besar lagi dan pasti bagus untuk ngangkut barang-barang impor papanya. Sesekali
papanya datang ngobrol dengan kita tapi kemudian pergi lagi. Papanya juga ok ok
aja dengan penampilanku yang gak asyik banget.
Malam
mulai menyelimuti semesta ketika acara makan malam tiba. Lampu-lampu di
pinggiran pelabuhan itu mulai bersinar. Angin dari pantai itu sangat sejuk.
Ombak dari pantai itu sesekali berpercikan ke udara karena menghantam landasan
tempat perahu biasa berlabuh. Setelah mengambil makanan, aku dan Mirna kembali
ke tempat semula dan bercengkerama ria. Entah kenapa, ia selalu kelihatan lebih
cantik dari biasanya ketika wajahnya dikenai lampu sorot, seperti waktu di
acara penutupan orientasi itu juga. Aku merasa bahagia bisa berduaan seperti
ini, walaupun hanya sebatas teman. Andaikan saja.. oh andaikan saja … hanya
Tuhan yang tahu apa yang ada dalam isi hatiku saat itu.
“Mir, kamu gak malu ya, bareng aku
kayak gini? Aku gak berdandan, celana pendek, badan bau lagi?” tanyaku.
“Udah kubilang, kamu tetap keren
kok. Kenapa harus malu? Kamu kan teman aku.”
“Cuma teman ya?” tanyaku dengan dada
agak bergemuruh. Ia melirik sebentar ke arahku.
“Hmm gimana ya” Ia melihat ke atas
langit dan tersenyum, “iya teman, maksudku teman spes……………oh…..” kata-katanya
terpotong, karena ombak yang menghantam di pelabuhan itu berpercikan ke udara
dan menghantam persis di wajahnya.
“Waduh Ton, mataku perih banget?”
katanya sambil ketawa, aku juga ikut ketawa.
“Bantuin dong… kamu malah ketawa
saja?” pintanya lagi…
“Yah, yang namanya air laut itu
pasti ada garamnya, dan kalo masuk mata pasti perih” ujarku. Aku mengambil
tissue dari meja tempat makanan tadi dan
membantu mengeringkan wajahnya. Aku juga mencoba meniup matanya sambil tangan
kiriku memegang bahunya. Tubuh kita sangat dekat, hatiku bergemuruh kencang
sekali lagi. Oh Tuhan, makhluk ciptaanMu yang satu ini, benar-benar indah. Parfum
Red Jeans yang dipakainya tercium jelas dengan jarak seperti itu. Andaikan
dia bukan idola sahabatku Leo.
Setelah
beberapa detik, matanya bisa dibuka lagi, dan mata kita bertautan sangat dekat,
aku benar-benar terpana dan hanya bengong. Dan betapa kikuknya aku saat itu.
Wajahku dan wajahnya Cuma beberapa senti.
“Selamat ya, untuk kalian berdua.
Aku gak tau, kalo ternyata teman gua sendiri menusukku dari belakang?”
tiba-tiba suara Leo memecahkan keheningan di antara kita. Entah dari mana ia
muncul. Aku melepaskan bahu Mirna dari tanganku dan mencoba menjauhkan tubuhku
sendiri dari Mirna.
“Leo, ini tidak seperti yang kamu
lihat. Aku cuma bantu dia….” Sahutku ke Leo tapi langsung dipotong olehnya.
“Ah, gak usah basa-basi… kalian berdua
sekongkol. Seharusnya dari dulu aku sadar. Aku tau kok Ton, kamu suka sama
Mirna kan? Jangan pura-pura. Aku benci punya sahabat seperti kamu,” ujarnya
lagi.
“Iya, kita cuman… ini mata aku tadi …”
sahut Mirna terbata-bata mencoba menjelaskan.
“Ah sudah… ga perlu penjelasan. Kamu
tahu gak Mirna, Ton itu suka sama kamu, dan aku tahu, kamu menolak aku karena
kamu juga suka kan sama Toni?”
“Kamu kenapa sih? Kok jadi malah
menuduh yang gitu-gitu? Leo, kamu itu sahabatku. Kita semua adalah sahabat”
“Iya.. itu dulu, tapi sekarang
jangan panggil aku sahabat lagi.”
“Leo,
dengar dulu. Kamu sahabatku, Mirna juga sahabat kita semua.. masak aku bisa
berbuat seperti itu ke kamu? Ini aku teman kamu. Tolong dengarkan aku,” aku
meminta.
“Gak
peduli, aku tau kok kamu dari dulu juga suka sama dia. Selamat ya buat kalian
berdua,” kata Leo lagi sambil beranjak pergi dengan wajah garang. Mirna mencoba
mengikutinya untuk menjelaskan, tapi ia tidak menyahut dan pergi begitu saja.
“Nanti aku hubungi dia dan ngomong
baik-baik dengannya. Mirna, aku sori banget ya, soal tadi. Kamu gak apa-apa kan,”
kataku setelah ia balik ke tempat semula.
“Iya gak apa-apa. Aku gak tahu harus
gimana dengan dia.”
“Iya,
aku juga. Dia kok malah berpikiran seperti itu sih.”
“Ton,
aku minta ijin ke papa, kamu tolong antar aku pulang ke rumah sekarang ya,
please. Soalnya baju aku juga sedikit basah karena percikan air laut tadi”
mohonnya.
“Ok,
terus balik lagi gak?”
“Gak,
aku mau istirahat, lagian kan tadi aku ajak kamu untuk bentar aja kan?”
“Iya,
sekali lagi sorry banget soal tadi. Soal Leo, nanti aku yang ngomong ke dia ya.”
Aku
langsung mengantar Mirna balik ke rumahnya di Delta. Dalam perjalanan Mirna tak
berbicara. Sikapnya berubah. Mungkin ia percaya atas omongan Leo, bahwa aku
menyukainya. Aku tahu aku juga bakal menerima kenyataan pahit seperti Leo. Aku bingung,
haruskah aku bohong kepadanya bahwa apa yang dikatakan Leo itu tidak benar,
atau haruskah aku jujur? Mungkin lebih baik didiamkan saja. Gak usah
didiskusikan lagi.
Setelah
pamit dan Mirna hilang di balik pagar rumahnya, aku langsung membalikkan
motorku ke rumah. Otakku tak tenang atas kelakuan Leo tadi. Semua keindahan
yang tadi aku alami, semuanya serasa punah. Walau kelihatan tenang, di dalam
hati, aku merasa lebur dihancurkan oleh temanku sendiri. Mau jujur kepadanya
bahwa perkataan Leo itu benar, juga salah. Aku nanti malah dibilang pengecut
dan sekaligus pengkhianat teman sendiri. Ah… kepalaku benar-benar pusing.
Baru
saja hendak merebahkan tubuhku ke sofa di ruang tamuku, ada sms masuk ke hp-ku.
SMS dari Mirna. Hatiku berdegup kencang. Pesan apa lagi ya? Aku mungkin
dicaci-maki olehnya.
“Ton, apa benar kata Leo tadi? Emang
benar kamu suka sama aku?” aku baca isi sms itu dan tak tahu mau balas
bagaimana. Aku menekan nomornya dan menelepon. mungkin menjelaskannya lewat
telepon lebih bagus daripada lewat sms. Tapi telepon aku dimatiin. Kucoba lagi
dua kali, tapi dimatiin oleh Mirna.
“Ton, aku mau kamu jujur, ya atau
tidak. Aku masih gak mau bicara sama kamu lewat telepon. Tolong jawab saja
lewat SMS.” SMS-nya yang kedua masuk
lagi. Aku menarik nafas panjang dan mengetik balasannya, “Sejujurnya,
jawabannya adalah iya. Tapi, kan kamu udah bilang, kamu gak mau kalo teman
dekat kamu menyukai kamu. Maaf ya..kalo kamu pikir aku juga pengecut.”
Setelah
smsku itu, tidak ada lagi balasan darinya. Aku mencoba sms lagi dengan
kejujuranku sekaligus meminta maaf kalo membuat dia marah. Tapi Mirna tak
pernah membalasnya lagi. Aku mencoba menelepon, tapi hpnya gak aktif. Aku jadi
resah. Aku coba telepon Leo, Leo juga ngambek, gak mau angkat telepon. Aku
mulai merasa benar-benar kehilangan bidadariku dan sahabatku semuanya.
* * *
Sejak
kejadian itu, aku tak pernah lagi melihat Mirna di kampus. Ia bagai hilang
begitu saja. Setiap kali aku tanya ke Kelly, dia bilang dia juga tak tahu. Aku melihat Leo di kampus dua atau tiga kali, tapi setiap kali kita berpapasan, ia berpaling.
Aku yakin ia masih marah kepadaku. Aku sudah mencoba mengajak bicara
berkali-kali, tapi ia cuma berlalu begitu saja. Sejak itu, aku tak pernah
melihat sahabat-sahabatku lagi. Aku jadi sering menyendiri di kampus karena gak ada teman. Untuk
pertama kalinya aku merasa kampus bukan lagi tempat yang indah dan menarik
untukku.
Aku
akhirnya memutuskan untuk bekerja dan mengambil kuliah malam saja. Dengan
demikian aku bisa ada kesibukan dan bisa melupakan segalanya.
“Yah, sabar bro. siapa tahu di kelas
malam nanti lu bisa melupakan semuanya,” kata Roni sahabat lamaku pas aku di
rumahnya.
“Yah, aku mau melupakan segalanya.
Orang-orang di kelas pagi, sekalian kan aku ada duit, kalo ada kerjaan” jawabku
sambil senyum hambar.
Doaku
terkabul, lamaranku di kantor perusahaan swasta itu diterima, jadi sekarang aku
transfer ke kelas malam. Aku yakin aku bakal bertemu dengan orang-orang baru
dan bersahabat dengan mereka mulai dari awal tanpa ada sejarah yang
menghantuiku.
* * *
Hari
itu, hari pertamaku kerja di kantor dan hari pertamaku juga kuliah kelas sore. Karena
telat, aku masuk kelas lewat pintu belakang. Aku agak kaget karena di barisan
depan, di sana ada Mirna. Di sampingnya duduk seorang wanita. Jantungku
berdetak sesaat walaupun perih juga berhambur bersatu dengan detakan itu. Hampir
sebulan lebih aku tak tau ke mana dia pergi. Hari ini kutemukan lagi.. Ini
kesempatanku, ujarku dalam hati.
Hari
mulai malam ketika kelas berakhir. Aku membiarkan Mirna keluar duluan tanpa ia
tahu kalau aku juga ada di kelas itu. Dari kelas aku melihatnya berjalan ke
arah jalan raya. Tanpa menuju ke motorku, aku langsung menghampirinya yang
barangkali lagi menunggu jemputan.
“Hei, lagi nunggu jemputan bokap kamu
ya?” aku menyapanya dari belakang. Tiba-tiba ia membalik dan melihat ke arahku.
“Jangan pergi dulu, sebelum aku
bicara, ya?” potongku sebelum ia beranjak pergi.
“Kamu kok di sini? Ngapain ke sini?”
tanyanya.
“Ya, aku udah kuliah malam juga. Aku
tadi duduk di belakang kamu. Aku antar yuk, balik ke rumah kamu,” ajakku.
“Gak perlu, aku bisa pulang sendiri.
Papaku juga lagi mau jemput. Kamu mendingan pergi aja deh.”
“Batalin aja, pasti dia belum juga
keluar dari rumah.”
“Gak perlu, aku masih bisa menunggu.
Aku tak butuh bantuan kamu,”
“Kamu kok kayak gitu sih? Tiba-tiba
menghilang tanpa info ke aku. Aku cari kamu ke mana-mana. Semua teman-temanmu
juga gak ada yang mau bilang ke aku, ke mana kamu pergi. Sekarang udah ketemu
malah judes kayak gitu sih? Sebegitu bencinya kamu ke aku ya? Apa salah aku?”
“Salah kamu? Gak ada. Cuma aku kesal
sama kamu?”
“Apa karena aku menyukai kamu? Itu
ya?”
“Iya.. mungkin !”
“Mirna, aku menyukai kamu
sesungguhnya. Terserah kamu mau bilang apa. Kalau kamu tidak mau menerima aku
karena aku sahabat kamu sendiri, tidak apa-apa, tapi serius aku tidak mau
kehilangan kamu. Tolong jangan hilang lagi dari hidupku. Melihatmu tersenyum
sesaat aja, sudah membuatku bahagia. Ok, aku pengecut karena gak berani katakan
ke kamu dari dulu. Tapi aku gak bisa bayangkan kalo kamu juga hilang dari
hidupku karena kamu tidak mau menerima aku dengan alasan yang sama seperti kamu
kasih ke Leo. makanya aku memilih diam saja” Jelasku panjang lebar.
Ia
melihat ke arahku, memandang dalam ke mataku. Aku mencoba meraih tangannya.
“Mirna, kalau kamu benci dan marah
aku minta maaf ya. Tapi aku gak bisa bohongin diri aku sendiri, aku rindu kamu,
aku benar-benar sayang kamu,” sambungku lagi.
“Ton, kamu itu berlebihan. Ok, kamu
bilang sayang aku, tapi kalo aku gak sayang kamu gimana?” jawab Mirna. Kata-katanya
itu benar-benar menghantamku.
“Serius? Kamu gak suka sama aku?”
tanyaku dengan nada pahit. Aku menelan ludah yang serasa pahitnya bukan main.
“Iya, emangnya kurang jelas? Dan aku
juga gak mau jadi sahabat kamu lagi” katanya tidak melihat ke arahku. Aku
melepaskan tangannya perlahan. Hatiku sesak, serasa ada yang mengganjal di
dadaku. Aku memandang ke atas. Langit yang kelam membuat mataku juga buram.
“Aku permisi, makasih udah mau jujur
dengan aku,” pamitku pergi. Saat itu juga mobil jemputannya datang. Aku hanya
bisa memandangnya saat ia melangkahkan kaki ke dalam mobil papanya.
Dalam perjalanan
pulang, aku merasa sakit yang bukan kepalang. Mungkin ini yang pernah dirasakan
Leo saat ia ditolak. Sekarang aku mengerti bagaimana sakitnya kalau ditolak. Perihnya
bukan main. Paling parah, semua kenangan indah bersamanya terus berputar di
kepalaku. Senyum dan tawanya dulu yang pernah menghiasi mimpiku semuanya
perputar ulang di kepalaku kayak review televisi. Masih juga terbayang
saat-saat aku diundang ke acara papanya. Aku merasa tersanjung, ia mau menerima
aku adanya dengan keadaanku seadanya. Semua kenangan itu campur mengharu-biru di
hatiku. Aku telah salah mengira, ternyata ia tidak menyukaiku.
Yang tidak aku mengerti, apa salahku, mengapa ia bersikap seperti itu. Andaikan aku malaikat atau Tuhan yang bisa tahu isi hatinya.
* * *
Sudah tiga
minggu, sejak kejadian di kampus malam itu. Aku jadi malas-malasan ke kampus. Perkiraanku
dulu bahwa kuliah malam akan membawa kebahagiaan padaku ternyata salah. Sejarah
pahit itu masih terus menghantuiku. Yang paling pahit, kemarin jam makan siang tanpa
sengaja aku melihat Mirna dan Leo bersama Dina, cewek yang selalu duduk di
samping Mirna di kelas malam itu makan bareng. Mungkin Leo udah balikan jadi
teman Mirna, atau malah mereka udah pacaran. Mereka kelihatan akrab sekali. Melihat
kebahagiaan mereka, sakit hatiku terasa semakin besar.
Aku duduk
termenung bingung karena hari itu hari sabtu sekalian hari ulang tahunku. Dulu biasanya
hari ulang tahunku dirayakan dengan ceria bersama teman-temanku. Kali ini, aku
benar-benar sendiri. Cuma Kelly sahabatku satu-satunya yang ingat akan hari ulang
tahunku dan mengundangku untuk makan malam dengannya di rumah makan Golden
Star. Mulanya aku menolak, tapi akhirnya aku mengalah. Toh lebih baik, daripada
bingung sendiri di rumah di ulang tahunku.
Jam tujuh
seperempat aku dan Kelly sudah duduk santai di Golden Star menunggu pesanan
makanan tiba.
“Selamat ulang tahun Toni,” ucap
Kelly sambil mengeluarkan sebuah kado kecil dari tasnya.
“Makasih, kamu gak harus beli kado
kok. Dengan kamu mengundangku makan malam ini, aku udah senang,” kataku senang.
“Iya, aku gak mau kamu sedih di hari
ulang tahunmu. Soal teman-teman semuanya, harap kamu maafkan mereka ya. Mungkin
saja mereka masih marah sama kamu. Iya, aku sudah dengar cerita soal kamu sama
Leo dan Mirna. Maafkan mereka ya, mereka cuma butuh waktu untuk mengerti tapi
aku yakin mereka masih sayang kok sama kamu sebagai sahabat,” katanya lagi.
Aku hanya
diam dan menganggukkan kepala.
“Oya, ini ada titipan dari Mirna,”
kata Kelly sambil memberikan sebuah amplop, “dan katanya, kamu harus baca di
sini sekarang juga biar aku tahu. Katanya kalo kamu gak baca di sini, dia yakin
kamu pasti gak akan baca nanti dan mungkin buang di tempat sampah. Dan itu akan
membuatnya kecewa,” sambungnya lagi.
Aku
membuka amplop itu. Di dalamnya sebuah kartu ucapan hari ulang tahun dan pesan
singkat.
Dear Toni,
Aku tahu kamu masih marah sama
aku, aku mengerti banget. Tapi aku cuma mau mengucapkan selamat ulang tahun untukmu
di hari spesialmu ini.
Aku tidak pernah marah sama
kamu. Aku tidak pernah membenci sama kamu. Kalau mau jujur kamu orang yang
paling dekat di hatiku. Aku mau kamu memaafkan aku soal kejadian malam itu di
depan kampus. Aku akan menjelaskan semuanya pada kamu besok, kalau kamu
memaafkan aku. Maukah kamu memaafkan aku? Aku menunggu jawaban darimu dan
tolong katakan pada Kelly kalo kamu udah memaafkan aku.
Sekali lagi, Selamat ulang tahun
Ton.
Mirna
Aku membaca
pesan itu dengan hati giris. Aku memasukkan lagi kartu itu ke dalam amplopnya.
“Maaf ya, Ton. Tadi aku baca juga
isi suratnya. Jadi gimana? Kamu mau memaafkan Mirna gak?” ucap Kelly.
“Gimana ya? Aku gak tahu. Sebenarnya
sih aku gak marah. Sakit sih ya.. namanya juga cinta ditolak, ya kan? Tapi sikapnya
itu lho. Aneh banget, dia berubah jadi orang asing gitu, aku gak ngerti,
katanya lagi, dia juga gak mau bersahabat dengan aku lagi” jawabku berbelit.
“Yah, simple saja, mau memaafkan
atau gak? Ayo!” kata Kelly sambil senyum menggoda. Aku tersenyum hambar.
“Jadi cowok susah amat sih, mau gak?”
godanya lagi.
“Iya, gimana ya? Ok deh aku maafkan.
” jawabku asal saja.
“Serius dong. Harus ikhlas lho!”
kata Kelly lagi.
“Iya ya.. ikhlas.”
“Asyik.. berarti kita bisa bareng
lagi seperti dulu ya!” Kelly kelihatan kegirangan. Aku hanya tersenyum. Yang tak
aku mengerti, mengapa Mirna begitu ketus
malam itu di depan kampus UNDIL dan kenapa tiba-tiba sekarang dia mau berubah? Kelly meraih tasnya dan mengutak-atik hpnya lagi.
“Lagi ngapain lu?” tanyaku soal
hpnya.
“Gak, cuma mau cek jam aja, soalnya
pesanan makanan kita lama banget.”
“Cek jamnya kok ketik-ketik gitu?”
dia hanya tersenyum mendengar komentarku.
Tak lama
kemudian pesanan makanan pun tiba. Di luar dugaanku, pesanannya banyak sekali.
“Kelly, kamu pesannya kok banyak
banget? Kamu yakin kita berdua bisa habisin semuanya?” aku bertanya pada Kelly
kebingungan.
“Kalo gak habis, dibungkusin dan
dibawa pulang, gampang kan? Ayo makan!” kata Kelly sambil tersenyum dengan raut
wajah yang tak aku mengerti.
“Gak usah dibungkus, kita-kita bantu
habisin kok! Ini malah mungkin gak cukup,” tiba-tiba dari belakangku terdengar
suara Mirna. Aku kaget dan langsung balik ke arah suara itu datang. Di belakangku
sudah berdiri Mirna, Leo dan Dina, sahabat Mirna yang baru. Leo? Dia juga di
sini? Hatiku bertanya-tanya, ada apa sebenarnya? Bukankah Leo membenciku?
“Selamat ulang tahun, Ton!” ucap
ketiganya satu per satu sambil meraih tanganku.
Untuk sesaat
aku merasa senang, tapi juga sedih karena kehadiran Leo di sana. Tapi seperti
kata Kelly, aku harus ikhlas, yang penting persahabatan kita bisa seperti dulu
lagi.
“Sorry bro, kamu masih marah sama
aku ya?” kata Leo sambil menepuk bahuku.
“Kayaknya sih aku gak pernah marah
sama kamu, kamu tuh yang marah dan menghindar dari aku. Aku baik-baik saja.” Jawabku
seadanya. Semuanya ketawa mendengar ucapanku. Ya Tuhan, aku senang,
sahabat-sahabatku bisa dekat denganku lagi, terlebih lagi di hari ulang tahunku
ini.
“Ngomong-ngomong, boleh gabung gak?”
tanya Mirna sambil senyum.
“Oh iya, sampe lupa, silahkan. Silahkan
duduk,” sahutku bersahabat. Ketiganya duduk di sekeliling meja. Aku meneliti
wajah mereka sambil senyum. Kelihatannya Leo dan Mirna udah dekat banget.
Ikhlas Ton, sekali lagi kata hatiku. Aku meraih kartu Mirna yang masih di atas meja
dan menaruh di saku jaketku. sementara tiga teman baru itu mengeluarkan
kado-kado kecil mereka. Aku hanya bisa berterima kasih.
Awalnya
makan malam itu terlihat agak kikuk, tapi akhirnya jadi lancar dan suasana ceria
kembali. Sehabis makan malam, tiba-tiba Mirna menghilang dan balik dari dalam
resto itu sambil menenteng sebuah kue ulang tahun buatku. Aku hanya bisa
tersenyum puas melihat wajah teman-temanku. Ternyata mereka sudah merencanakan
semua ini. Hari ulang tahunku akhirnya asyik juga.
“Sebelum potong kuenya, aku ada
pengumuman buat kita semua,” tiba-tiba Leo menghentikan percakapan kami semua.
“Aku mau malam ini menjadi malam
yang spesial buat Toni. Jadi untuk tiup lilinnya, saya minta Toni ditemani oleh
Mirna. Ayo Mirna!” sambungnya lagi. Kok jadi Mirna? Aku dikerjain kali ya,
pikirku.
Mirna dengan senangnya mendekatiku dan
duduk di samping kananku. Leo mulai menyanyikan lagu ulang tahun diikuti oleh
semua teman-teman. Sementara mereka bernyanyi tangan kiri Mirna menemukan
tangan kananku. Digaetnya tanganku dengan lembut. Aku hanya memasang wajah
senyum sambil menunggu mereke selesai nyanyi dan meniup lilinnya.
“Makasih teman-teman semuanya, aku
senang sekali, ini kejutan ulang tahun yang paling baik yang pernah aku terima,”
ujarku setelah lilinnya mati.
“Eit sabar dulu. Kamu harus bilang
dulu kalo kamu udah memaafkan Mirna. Soalnya, dia bilang, dia pernah menyakiti kamu
dengan menolak cinta kamu. Kamu mau memaafkan dia kan?” kata Leo lagi. Kelly
juga ikut-ikutan komentar, “benar tuh! Mau gak?”
“Iya, ya aku sudah memaafkan kok,” sahutku
asal saja.
“Dan katanya lagi, waktu itu dia
berbohong pada kamu dan pada dirinya sendiri. Dia sebenarnya suka sama kamu dan
mau menjadi lebih dari sahabat”
“Oya, trus kamu? Bukannya Mirna
pacar kamu, Leo?”
“Enggaklah, kan cintanya cuma sama
kamu. Aku udah jadian sama Dina,” kata Leo lagi sambil memeluk Dina di
sampingnya. Aku melihat kea rah Mirna yang hanya menunduk malu.
“Aku gak ngerti semuanya. Ini bukan
mimpi kan?” kataku.
Saat itu
juga Leo menampar pipiku.
“Eh, kok malah ditampar sih?" aku
beri komentar dan mengelus pipiku yang sakit. Semuanya tertawa.
“Sakit kan? Berarti gak mimpi,
hahaha,” Leo kembali tertawa. “Gini, alasannya waktu itu Mirna nolak kamu karena dia gak mau melihat aku sakit
hati. Katanya kalo dia menerima cinta elo, nanti aku merasa disakiti dan dikhianati.
Makanya dia mau menghindar dari elo, untuk yang terbaik buat kita semua,
katanya. Aku udah bilang ke dia, aku udah ga apa-apa. Jangan korbankan cintamu dan
perasaanmu untuk aku.
Dan untuk
aku, gak mungkinlah aku maksakan cinta. Kan hatinya Mirna bukan buat aku. Dan aku
juga gak mau egois. Hanya karena perasaanku, aku kehilangan sahabat-sahabatku” Sambung
Leo lagi. Aku mengalih pandangan ke Mirna yang dari tadi hanya menunduk diam.
“Benar ini Mirna?” aku menggoyang
bahunya. Ia perlahan melihat ke arahku dengan malu-malu. Kemudian mengangguk
setuju.
“Trus, sikap kamu yang aneh dulu tiba-tiba
menjauhi aku itu kenapa? Apa alasannya?” tanyaku lagi tertuju pada Mirna.
“Lah itu kan, salah kamu. Masak aku harus
mendengarkan isi perasaan kamu dari orang lain? Kamu seharusnya bilang langsung ke
aku dong,” katanya tersipu malu.
“Wah, sama dong. Itu yang tadi Mirna,
kamu juga gak bilang langsung ke aku kan? Kan tadi Leo yang bicara?” sahutku
membela diri sambil tersenyum.
“Ya udah deh, yang penting kalian
sudah tahu perasaan masing-masing kan, dan kita-kita adalah saksinya.” Kelly
yang dari tadi diam, ikut beri komentar. Yang lainnya hanya ikut ketawa.
“Jadi, gimana? Masih mau jadian,
gak? Kalo gak mau, nanti dicaplok orang lain lho, Ton?” goda Leo lagi.
“Lu lagi, lu lagi, Leo. Kasih kesempatan
dong biar Mirna yang tanya sendiri,” celoteh Dina, pacarnya Leo.
Aku
melihat wajah sahabatku satu-satu, dan kemudian Mirna. Semuanya berharap yang
positif. Aku merangkul Mirna yang duduk di sampingku dan mendekapnya dalam
pelukanku sambil berbisik di telinganya, “masih mau kan kamu jadi pacar aku?”
Mirna hanya mengangguk.
“Ngomong yang keras dong, mana bisa
kita dengar, Mirna dia bisik apaan tuh?” Dina dan Kelly memprotes. Aku dan
Mirna hanya senyum. Mirna masih dalam dekapanku. Seketika luka yang selama ini
di dalam hatiku hilang entah ke mana. Aku merasa kayak terbang di kayangan.
Aku memotong kue ulang tahunku dengan ditemani oleh Mirna dan sahabat-sahabat dekatku. Aku juga disuapin kue oleh tangan Mirna sendiri. Mataku tak lepas darinya. Ini bukan mimpi, tapi kenyataan.
Aku merasa bahagia sekali, hari ulang tahunku, menjadi juga hari spesialku karena hari itu juga aku mendapatkan bidadari impianku selama ini. Terima kasih atas semua sahabat-sahabatku. Terima kasih UNDIL tempat aku mendapatkan cintaku.
Aku memotong kue ulang tahunku dengan ditemani oleh Mirna dan sahabat-sahabat dekatku. Aku juga disuapin kue oleh tangan Mirna sendiri. Mataku tak lepas darinya. Ini bukan mimpi, tapi kenyataan.
Aku merasa bahagia sekali, hari ulang tahunku, menjadi juga hari spesialku karena hari itu juga aku mendapatkan bidadari impianku selama ini. Terima kasih atas semua sahabat-sahabatku. Terima kasih UNDIL tempat aku mendapatkan cintaku.
“Mirna, kamu batalin jemputan ayah
kamu ya. Biar aku yang ngantar kamu pulang,” ajakku sebelum keluar dari Golden
Star malam itu.
“Udah aku batalin tadi. Kan kamu yang anterin aku sekarang”
“Wah, cepat amat. Kamu selama ini ikut kursus untuk mempunyai kemampuan mempercepat waktu ya? Tadi di kartumu juga katanya ketemuan besok, eh tiba-tiba nongol?”
"Yang itu kan di-sms sama Kelly tadi." Ooooh, aku jadi teringat saat Kelly utak-atik hp tadi.
"Yang itu kan di-sms sama Kelly tadi." Ooooh, aku jadi teringat saat Kelly utak-atik hp tadi.
Mirna
mencubit lenganku gemas. Dan kami berpelukan disaksikan semua temanku.
UNDIL, 25 Agustus 2005
Billito Soares