Wednesday, September 10, 2014

SEPENGGAL KISAH DI UNDIL



(Kisah ini hanya fiktif belaka. Jika ada kesamaan nama, cerita dan tempat, itu hanya kebetulan belaka. Penulis tidak bertanggung jawab jika ada yang merasa dirinya diceritain)
 
“Hey bro, kita mau ngisi acara apa ya?” tanyaku pada Leo sahabatku setelah jauh dari kerumunan mahasiwa lain. Ia malah cuekin aku. Matanya lagi terpaku pada sesosok wanita imut dan manis sedang utak-atik handphone-nya tak jauh dari tempat kita. 
Hari ini hari penutupan orientasi kami sebagai mahasiswa baru tahun 2003 di UNDIL. Panitia meminta para mahasiswa baru membentuk kelompok dan membawakan acara seni dan pertunjukkan untuk pesta penutupan sebentar malam.
“Hoi, kampret.. kita mau ngisi acara apa entar malam?” tanyaku lagi sambil tinju lengannya.
“Ah lu… gitu aja sewot… nanti aja dipikirin, ini lagi ada obyek menarik nih. Lu main ganggu aja.” Aku ikut-ikutan lihat ke arah matanya. Tiba-tiba wanita itu balik ke arah gedung utama dan hilang di  balik pintu..
“Nah tuh kan? Gara-gara lu juga ngeliat. Makanya dia ngerasa dan pergi.” Tuduh temanku.
“Lho, kok aku yang disalahin?” Aku menggelengkan kepala tak mengerti dengan temanku. “Lagian, kata teman lain dia itu anak pengusaha export import mebel. Kalo lu? Baru aja mau kuliah…itu juga dibayar oleh ortu elo.. lupain aja dech.” Sambungku lagi. Leo meninju sikuku saja dan tersenyum cuwek.
“Lu lihat aja nanti, gua mastiin kalo gua bisa kenalan dengan dia dan minta nomor teleponnya..”
“Trus? Lu mau ngapain dengan nomor hpnya”
“Ya elahh.. tanya lagi.. dasar bego. Ya pedekate-lah biar bisa jadi pacar gue, bego!” Leo nyerocos aja dengan wajah sinis. Sementara aku hanya tersenyum mendengar ocehannya.

Tiba-tiba si Roni dan si Jeca sahabat terdekatku udah mampir dekat aku dan Leo. Kita berempat adalah anak band lokal di kota.
            “Lu berdua lagi ngapain..? lagi diskusikan acara entar malam itu ya?” tanya Roni pas udah bareng kita-kita. “Gini, kita nyumbang lagu aja, kan kita anak band!” sambung Roni lagi dengan wajah gembira.
            “Iya elah, trus siapa yang mau nyanyi? Penyanyi band kita kan bukan mahasiswa sini! Kalo dia nyanyi entar malam, apa kata panitia?” Leo yang jawab. Aku diam saja..
            “Eh, Toni, lu aja yang nyanyi,” ngeledek Jeka ke arahku. Aku ketawa ngakak
            “Serius? Lu mau semua orang pada lari ya? Tau aja suaraku kayak meriam bambu, lu nyuruh gue nyanyi. Lu sakit jiwa kali ya?” sahut aku sambil melotot ke arah Jeka yang lagi ketawa kegelian.
Leo dan Roni ikut-ikutan ketawa.

Setelah beberapa menit diskusi kita malah bingung. Mau undang penyanyi band kita, pasti tidak disetujui panitia. Kita semua mengalah. Aku akhirnya memutuskan ke kios di depan kampus untuk beli rokok, daripada bingung mikir.. siapa tahu rokok bisa membantu buka pikiran.
            “Hey, kamu Toni ya? Cowok yang kemaren dipaksa ketawa 10 macam itu kan?” tiba-tiba ada suara di belakang aku pas aku lagi nunggu uang kembalian dari pembelian rokokku di kios. Aku balik dan melihat sumber suara itu. Hmm.. di depanku sudah berdiri seorang cewek manis, hidung bangir dengan kacamata minus. Itu dia, cewek yang tadi diperhatikan oleh Leo. Tubuhnya kecil keimutan. Wajahnya emang manis dan cantik.

Ia masih ketawa, barangkali masih ingat gimana aku dikerjain sama senior kemaren gara-gara lupa make papan namaku di dada.
            “oh iya, itu aku! Kok ketawa” sahutku pura-pura malu..
            “Hehe..” ia melihat ke arahku dan tertawa..”maaf, aku masih ingat kemaren kamu ketawa itu, soalnya lucu,” tambahnya lagi.
            “Senang ya kamu, bisa ketawain aku..itu namanya bahagia di atas penderitaan orang lain” jawabku sok akrab.
            “eh, ngomong-ngomong kamu bawa acara apa entar malam? Aku sendiri bingung mau bawa apa. Gak ada teman lagi.” Potongnya dengan wajah mencoba serius.
            “iya.. aku juga bingung.. maksudnya kita ada kelompok band nich, tapi gak ada penyanyinya..” sahutku asal saja.
            “Oya? Boleh nggak aku gabung ama kelompok kamu. Aku bisa nyanyi kok?” Ia melihat persis di mataku meminta dengan sungguh-sungguh. Aku sendiri tak percaya…
            “Serius? Kamu bisa nyanyi? Wah pas banget.. Sini aku perkenalkan kamu ke teman-temanku. Btw, aku sendiri Toni,” aku menyodorkan tanganku.
            “Serius.. aku sering nyanyi di SMA-ku kok. Suaraku gak bagus sih.. Cuma aku suka nyanyi..aja. Aku Mirna.” Dia menyambut tanganku dengan lembut.
            “Ah gak pa pa. Kita juga bukan pemain band yang profesional kok.. Cuma hobi. Tapi aku yakin kamu pasti punya suara bagus. Tapi.. gimana ya… ada syaratnya!” Sahutku seadanya sedikit menggoda.
            “syarat apa lagi?”
            “Kamu janji gak akan ketawain aku lagi, soal aku dihukum kemaren oleh kaka senior kita itu?” aku tersenyum.
            “Ok deh, aku janji!”  Ia senyum.
Hmm temanku Leo pasti senang nich.. soalnya dia bisa kenalan dengan cewek ini. Apalagi barengan dalam band kita. Aku tersenyum senang. 
           
Sambil mengisap rokokku aku akhirnya kembali dengan Mirna dan memperkenalkan dia ke teman-teman anggota band lainnya. Aku bisa melihat wajah Leo girangnya bukan main.
            “Makasih kawan, lu udah bawa dia ke sini. Gimana caranya lu minta dia kemari? Gimana lu tau dia bisa nyanyi?” Leo menyikut tanganku dan berbisik pas kita lagi berduaan saja.
            “Gue ada caranya.. bukan kayak lu yang cuma bisa ngelihat dari jauh aja.. gue minta kenalan dong! Trus gue tanya apa hobinya.” jawabku bohong.

Kita kemudian berlatih beberapa lagu dan akhirnya memutuskan untuk membawakan dua lagu saja untuk acara malam nanti. Puji Tuhan, Engkau memperkenalkan Mirna pada kami pada saat yang sangat tepat, bisikku dalam hati. Suaranya asyik, ditambah tubuhnya yang mungil, aku yakin show kita malam nanti pasti akan menarik buat anak-anak sekampus. Sehabis latihan Leo dan Roni bertemu dengan panitia untuk mendaftarkan acara kita.

*   *   *

“Makasih dan selamat ya. Penampilan dan suara kamu tadi bagus banget” aku menyodorkan tanganku buat Mirna persis kita selesai show di sela-sela bisingnya para penonton lagi bersaut-sautan. Serius, suaranya malam itu enak banget didengar. Penampilannya malam itu juga membuat dia kelihatan manis dan cantik. Aku yang main bass kadang jadi lupa ke mana jari harus pergi untuk nada selanjutnya.
“Sama-sama.. ah kamu bisa aja. Kamu juga hebat kok, aku tadi yang nyanyi bisa dengar suara bentotan bass kamu.” Katanya juga memuji, aku hanya tersenyum. Aku melihat wajahnya lagi.. ya ampuun… wajahnya manis sekali apalagi dengan lampu sorot yang menerpa wajah dan poni rambut di jidatnya. Pantasan si Leo matanya jelalatan tadi siang. Kok aku baru sadar ya.

“Eh, bantu aku turun dong.” Katanya sambil memegang tanganku erat mau melompat turun dari panggung. Aku kaget dari lamunanku.
 “Oh iya..” aku membantunya turun dari panggung.
Hanya dalam sekejap ia sudah berada di bawah panggung. Aku hanya bengong. Para penonton masih berteriak girang dan suit-suitan karena show kita tadi.
“Toni, aku pengen pipis dulu ya. Bentar aja! Nanti aku balik ke sini” aku mengiyakan dan ia menghilang di kerumunan penonton.
“Hoe Toni, lu ngapain situ, bantu kita dong, beresan panggung ini, soalnya masih ada acara dari anak-anak lain,” teriak Roni dari arah belakang.

Aku naik lagi ke atas panggung membantu membereskan gitar, drum dan alat music lainnya. Sehabis beresin semuanya, aku ke belakang panggung. Di sana Mirna sudah balik menunggu ditemani Leo.
Tiba-tiba ada yang menyesak di dada, aneh ya, kok bisa? Kenapa tiba-tiba aku jadi gak suka ngelihat Leo dengan Mirna ya? Apa aku mulai suka sama Mirna? Ah, gak mungkin.. aku membisik dalam hatiku. Kuharap itu takkan terjadi, nanti aku dibilang teman makan teman lagi.. kan aku udah tau kalo si Leo yang naksir banget ama cewek itu. Huff….
“Masih mau nonton acara lain sekalian nunggu acara dansa nanti ya?” tanyaku pas tiba.
“Kan aku lagi nunggu kamu! Sekalian nunggu mobil jemputan papa,” sahutnya memandang sekilas ke arahku,
“Emangnya mau pulang sekarang ya?”
“Iya, papa masih ada urusan setelah ini, jadi sekalian aja. Kamu nanti pulangnya dengan apa?” tanyanya.
“Dengan motor, sama juga kayak si Leo, dia juga dengan motor,” jawabku menyebut nama Leo, soalnya dari tadi dia kayak dikucilkan dari pembicaraan.
“Wah, kalo gua tau dari awal kalian ada motor, gua udah batalin jemputan dan pulang bareng kalian aja. Tapi waduh… papa udah di tengah jalan.”
“Yah udah, lain kali aja, kan kita masih sekampus…emangnya dia dari arah mana?” tanya Leo ikut dalam pembicaraan.
“Dari arah Comoro. Kan Mirna tinggal di Delta.”
“Was pas dong. Kita berdua juga dari Comoro.. lain kali aku yang antar ya!” ujar Leo lagi senang.
“Ok deh, tapi boleh gak kalian berdua temanin aku ke depan sana nungguin papa aku sekarang?”
“Yah boleh dong” sahut aku  dan Leo bersamaan. Leo menyikut lenganku pas Mirna balik membelakangi kita. Dia kelihatannya girang bukan main.

Tak lama kemudian, jemputannya datang. Setelah pamit dia pergi meninggalkan aku dan Leo. Mobil sedan biru gelap itu pun berlalu menghilang di tengah malam. Aku memandang Leo dan tersenyum. Ia balik melihat ke arahku.
      “Napa lu seyum-senyum lihat gue?” Leo bertanya sambil tersenyum.
      “Ah ga papa, Cuma mau lihat saja teman gue yang lagi happy, emang gak bisa ya?”
      “Yah boleh lah.. Cuma takut aja, dia kayaknya lebih dekat ama elo tuh..” kata Leo lagi agak cemberut.
      “Ah lu bisa aja.. itu perasaan kamu aja. Dia baik ama aku mungkin karena aku yang kenal dia duluan..” jawabku membela diri.

*  *  *

Sudah persis seminggu sejak konser acara penutupan orientasi mahasiswa baru itu. Entah kenapa, kuliah belum berjalan semestinya. Mahasiswa masih pulang pergi ikut bimbingan dari dosen soal mata kuliah mana yang harus dipilih.
Aku masih malas-malasan untuk ketemu dosen pembimbing sementara teman-temanku yang lain semuanya sudah pada beres dengan urusan bimbingan.

Setelah parkirkan motor bututku aku menyusuri lorong kampus ke arah ruangan dosen pembimbingku dengan mode malas-malasan.
            “Hey bro.. udah bimbingan belum?” tiba-tiba terdengar suara Jeca dari arah samping kanan. Dia lagi barengan dengan anak-anak lain yang tak aku kenal.
            “Ini baru mau ke sana. Lu lihat Leo sama Roni gak?” aku balik bertanya.
            “Enggak.. tapi kayaknya mereka berdua udah bimbingan. Tinggal masuk kuliah aja minggu depan. Eh, tapi kalo lu nanti milih kelas, milih kelas A ya.. kan kita-kita di sana juga”
            “Enak aja, terserah dosennya dong”
            “Yah udah, si Mirna juga di kelas A kok!” sahut Jeca lagi memancing. Mendengar nama Mirna, aku langsung kaget.
“Oya? Yang benar?”
“Tuh kan. Baru aja dengar nama Mirna, mata kamu membulat besar kayak buah lemon aja,” kekeh temanku Jeca. Sialan.
“Ah lu bisa aja ngerjain gua. Emangnya lu tahu dia di kelas A.”
“Nggak juga sih. Cuma bercanda, aku belum pernah lihat dia di kampus ini.”
“Iya.. sama dong. Mana belum tahu nomor teleponnya lagi.” Jawabku kesal

Setelah basa-basi sebentar, aku beranjak masuk menemui dosen pembimbingku. Aku berhasil mendalftarkan semua mata kuliahku dan yang paling penting, aku berhasil juga mendapatkan kursi di kelas A. Ini berarti aku bisa barengan sama teman-teman gadunganku lagi. Setengah jam kemudian aku udah keluar. Dalam hati aku berharap-harap semoga si Mirna juga sekelas dengan kita di kelas A. 

Aku langsung sabet sepeda motorku dan menuju Nila Sari buat beli bakso. Setelah parkir di depan Nila Sari, aku berjalan dengan gembiranya memasuki warung tempat biasa anak muda nongkrong waktu itu. Pas di pintu masuk, aku jadi kaget bukan kepalang. Gila, si Leo emang nekat ya. Gak nyangka dia memang benar-benar udah barengan dengan si Mirna. Di sana di bagian paling pojok dekat kasir, Leo lagi asyik-asyiknya ngobrol dengan Mirna sambil nyeruput es teh. Mangkuk di depan mereka sudah tampak kosong. Ini berarti mereka sudah di sana paling kurang setengah jam lebih. Mungkin juga udah berjam-jam.

Aku meneliti mereka beberapa saat sebelum mendekati dan bergabung dengan mereka. Baru aja kenal minggu lalu, sekarang keduanya kelihatan sudah akrab sekali kayak sahabat lama. Aku agak iri sih, tapi di satu sisi aku senang, teman gue Leo bisa dapatkan apa yang dia inginkan. Di sisi lain, kok aku gak enak ya, kalo ngelihat keduanya berduaan. Something must be wrong with me.

*  *  *

Kuliah sudah berjalan kira-kira tiga bulan. Aku senang, ternyata aku sekelas dengan Mirna, hari-hari kuliahku jadi asyik dan menyenangkan. Aku juga akhirnya berkenalan lagi dengan Kelly, sahabat dekat si Mirna. Bersama Mirna, Leo dan Kelly, kita berempat selalu kompak, kemana-mana selalu berempat. Leo bareng Mirna dan aku sama temannya Kelly boncengan motor. Apalagi setelah teman kita Roni dan Jeca mulai gak aktif lagi kuliah karena kerjaan mereka, kita berempat jadi lebih akrab, dan malah udah kayak dua pasangan yang kompak. Leo dan Mirna, aku dan Kelly. Meskipun semuanya cuma teman buat gue, dan kita semua hanya empat sekawan, itu saat-saat paling menyenangkan dalam hidupku. Kadang aku juga rindu teman Roni sama Jeca.. ah.. gak apa-apa yang penting sekarang ada Leo, Mirna dan Kelly.

Sebagaimana udah dijanjikan di malam penutupan orientasi, Mirna udah gak lagi dijemput sama bokapnya, kadang ia diantar sama teman gua Leo, kadang juga aku kebagian antar kalo si Leo-nya lagi ada halangan. Tapi aku biasanya kebagian ngantar si Kelly.
            “Hey Toni, gimana menurut elo tentang aku ama Mirna?” tanya Leo tiba-tiba kepadaku suatu malam pas setelah nganterin keduanya pulang ke rumah.
            “Maksud kamu, pacaran gitu?” aku balik bertanya. Hatiku sedikit tersayat karena pertanyaannya. Bagaimanapun juga, aku gak bisa membohongi diriku sendiri kalau aku udah mulai menyukai Mirna.
            “Iya, emangnya apa lagi. Menurut kamu si Mirna itu juga demen sama aku gak ya?”
            “Iya pasti dong, kan dia selalu bareng kamu kalo pulang ke rumah. Emang kamu belum nembak ya?”
            “ya barengan itu kan karena kita udah temanan. Kalo bukan dengan kita-kita dengan siapa lagi. Kan kita adalah teman dekatnya, sama si Kelly juga,” jawab temanku Leo kelihatan bingung. “Aku sih bingung, mau nembak tapi khawatir kalo dia anggap aku teman aja, ndak lebih.” sambungnya lagi.
            “Waduh, jadi ceritanya elo berdua belum jadian ya? Aku kira elo berdua udah jadian selama ini. Ya udah, lu nembak aja lain kali. Menurut aku, dia juga demen tuh sama kamu.”
            “Gak tau deh. Aku cuma khawatir kalo nanti kehilangan semuanya,” ujarnya lagi
            “Maksud kamu?”
            “Yah, kalau aku nembak terus aku ditolak, gimana nantinya pertemanan kita. Aku jadi gak enak dekat dengan dia. Trus kalo aku tiba-tiba aja menghindar juga gak enak. Aduh pusing gua.”
            “Hey gini, jadi cowok itu, harus berani, jangan loyo kayak gitu. Kata orang, kalo mengira dia menolak tanpa mencoba, maka jawabannya adalah 100% ditolak. Kalo lu coba utarakan perasaan elo, lu ada kesempatan 50% diterima”
            “Ya deh, tapi gimana bilangnya ke dia ya?”
“Gini, gak usah  banyak mikir, pas lu berduaan utarakan aja, kalo loe udah lama menyimpan perasaan buat dia. Loe gak bisa terus-terusan bohongin diri elo kalo loe benar-benar suka sama dia. Gak usah pake rumus matematika segala. Simple aja. Trus, terserah dia mau bilang apa. Aku yakin jawabannya pasti positif,” jelasku.
“Oya, besok kan kita janjian olahraga pagi di pantai. Beri aku kesempatan dong, mungkin ini saatnya,”
“Maksud kamu aku sengaja batalin jemput Kelly, biar kamu dan Mirna sendirian, gitu?” aku bertanya.
“Nah, benar kan, gua bilang, lu emang pintar nebak maksud gua. Please ya…!” katanya sambil tersenyum meminta.
“Ok deh, buat teman aku rela, tapi… gimana caranya batalin si Kelly ya?”
“Walah, itu sih gampang. Kita kan janjinya ketemuan di pantai jam 7 pagi… nah, lu telpon aja dia sekitar jam 7an, pas kira-kira aku dan Mirna udah di pantai, trus bilang aja, kalo lu lagi gak enak badan, atau perut mules atau apalah”
“Ok deh, beres..”
“makasih banget, ya Toni. Lu itu teman gua yang paling baik.”
Teman gue kelihatan benar-benar senang dengan rencana kita. Ia meninju bahuku dengan bahagianya. Aku hanya bisa tersenyum sedikit trus jadi linglung. Benar ya, mulai besok, Mirna udah bakal resmi jadi pacarnya Leo, pikirku agak sedih dalam hati.
            “Eh, tapi gimana dengan lu ama Kelly?” tiba-tiba Leo bertanya ke arahku
            “Maksud loe?”
            “Maksud gua sih, kalo aku jadian sama Mirna, lu jadian aja sama Kelly. Kan elo juga yang sering antar jemput Kelly, lu demen kan sama dia?”
            “Demen? Gila lu, gua anggap dia cuma sebagai sahabat. Gak lebih. Trus dia juga katanya lagi senangnya ngejar-ngejar Beny, itu cowok yang katanya ganteng selangit. Masih ingat kan?”
            “Bisa aja lu, itu cuma trik cewek aja, untuk ngecek aja reaksi elo,” Leo senyum lebar ke arahku.
            “Lu kayak ahli psikologi cewek aja ya. Padahal tadi aku yang nasehatin kamu..”
            “ha ha ha.. gak juga sih.. tapi loe suka sama dia kan?” Leo mulai menggoda aku lagi.
            “Leo, udah kubilang, dia itu aku anggap cuma sebagai teman, tidak lebih.” Gak tau kenapa, aku gak ada perasaan sama dia,” jawabku. Kalau mau jujur sih, perasaan aku justru ke Mirna, bisikku dalam hati.
            “Tapi dia cantik kok. Lu tau sendiri kan, banyak cowok di kampus kita yang tergila-gila dengan dia? Aneh, teman gue sendiri, gak demen sama cewek secantik Kelly,” kata Leo lagi seolah berbicara pada dirinya sendiri. Aku menunduk cuma tersenyum. Dia benar, Kelly emang cantik dan manis juga. Tapi entah kenapa, perasaanku gak ke sana ya. Justru hatiku malah tertaut dengan Mirna.
            “Aku udah bilang jujur ke kamu bahwa, ndak kan?”
            “Ya udah, kalo gitu, aku pamit dulu ya, tapi lu jangan lupa besok ya, lu harus batalin jemput Kelly buat olahraga pagi, biar aku bisa berduaan saja sama si Mirna,” jelasnya lagi.
            “Beres bro.. gak usah khawatir,”

Setelah basa-basi sebentar aku pun balik ke rumah dengan rasa berat di dada. Bagaimanapun juga, aku gak harus bilang ke Leo kalo aku juga mulai suka sama si Mirna. Mendingan gak ada yang pernah tahu.

*   *   *

Hari senin adalah hari yang paling kubenci. Ada kelas padat di sekolah, lebih parahnya lagi, hari itu aku tak pernah melihat batang hidung Mirna, Leo dan Kelly. Pada kemana semua anak-anak ini. Masak sih, baru jadian pacaran, mulai lupa sekolah, pikirku gak karuan. Dasar si Leo dan si Mirna, udah jadian pacaran sampe lupa kita-kita.

Setelah selesai kuliah, aku menyusuri lorong kelas sendirian dengan lesu. Tak biasanya aku seperti ini, lebih pasnya tak biasanya aku sendiri di kampus seperti ini. Biasanya pasti bareng kawan-kawan dekatku Mirna, Kelly dan Leo. Hufff… aku menghembuskan nafas berat. Saag-saat seperti ini aku jadi teringat sahabat-sahabat lamaku seperti si Jeca dan Roni.

Baru saja mau melangkah keluar pagar kampus menuju motorku, kulihat Mirna lagi duduk di bangku panjang yang sengaja dipasang di bawah pohon mahoni bagian kiri dekat pintu gerbang.
            “Lho, kok gak masuk kuliah tadi, Mirna?” tanyaku agak gagap.
            “Lagi bete, malas!” jawabnya.
            “Ya ampun.. gak enak banget sendirian tanpa kalian semua. Trus, si Leo-nya mana?”
            “Leo gak masuk kelas ya?”
            “Lho, kok malah balik tanya gue, lu kan yang biasanya jalan bareng Leo! Lu gak telpon dia ya?” tanyaku bingung.
            “Tadi aku telpon dia, tapi teleponnya dimatiin, gak tahu kemana tuh anak. Eh Toni, aku bête banget.”
            “Kenapa? Kalo bete ya kenapa susah-susah ke kampus. Ke sini juga sama aja, lu gak masuk kelas kan jadinya?”
            “Waduh, di rumah mah malah lebih bête, aku bisa cepat tua, dengar ocehan mama yang gak karuan gitu.”
            “Emangnya ada apa sih? Kok bête siang-siang gini. Lu tuh yang selalu ceria. Kalo lu bete, siapa lagi yang mau hidupkan suasananya?” kataku asal saja.
            “Eh, Toni, jalan-jalan yuk.. kita makan di warung Malang dekat lapangan pramuka sana. Temani aku dong” ajaknya.
            “Ya udah, bidadariku yang lagi bete. Gua temanin, tapi.. harus ceritakan ke gue, kenapa bete” kataku mengalah tapi memberi syarat.
            “Iya pasti dong..”

Setelah tiba dan memesan makanan kesukaan kita, Mirna langsung menyodorkan kedua tangannya ke aku.
            “Coba lu pegang tangan gua sekarang” katanya.
            “Buat apa?”
            “Pegang aja dulu!” Aku menuruti permintaannya. “Gimana? Aku waras kan? Aku manusia normal kan?” tanyanya lagi.
            “Hah? Maksud loe apa sih? Aku gak ngerti!”
            “Yah, aku juga gak ngerti… serasa aku gak normal deh!” ujarnya lagi.
            “Mirna, kamu ini aneh-aneh saja. Kamu suruh aku pegang tangan kamu, terus tanya aku dengan pertanyaan macam-macam. Kamu gak kenapa-kenapa ya?”
            “Waduh Toni, aku bingung.. saking bingungnya, aku gak tau mau cerita ke kamu gimana.”
            “Mirna, kalo kamu ada masalah, boleh kok kamu curhat ke aku. Jangan bikin aku tambah bingung kayak gini. Ada perang di rumah kamu ya? Atau lu belum bayar SPP dan mau pinjam uang gua ya?”
            “Bukan.. dasar..lu. hmm.. gimana ya?” katanya lagi sambil berhembus nafas panjang kemudian menunduk seperti orang kebanyakan mikir. Kedua tangannya masih dalam genggamanku.
            “Ok, gini.. ambil napas dalam-dalam, trus hembuskan perlahan-lahan. Trus kalo udah ok, baru kamu bicara,” usulku. Ada apa sebenarnya dengan ini anak.
            “Toni, kamu harus janji ya sebelum aku cerita, bahwa kamu gak akan pernah anggapin aku teman yang gak baik. Please… aku mohon,” pintanya setelah diam beberapa detik.
            “Lu dinodai sama cowok gak dikenal ya?”
            “TOniiiiiiii., yang pasti bukan…! Tapi kamu janji dulu.”
            “Ok ok. Aku janji, dengan sepenuh hati” aku memandang wajahnya dengan serius.
            “Tahu kan sabtu kemaren? Waktu kamu dan Kelly gak jadi lari pagi bareng aku dan si Leo?” tanyanya memulai. Deg, tiba-tiba jantungku berdetak kencang. Aku pura-pura melepaskan tangannya perlahan, gak mau kalo dia bisa ngerasain denyut nadi di tanganku yang tiba-tiba jadi cepat.
            “Iya.. emangnya kenapa?” tanyaku penasaran.
            “Iya, aku cuma sendirian sama si Leo gara-gara kamu gak datang.”
            “Kan aku udah bilang aku lagi gak enak badan.”
            “Iya.. dengar dulu.. cerita gua. Bukan itunya yang jadi masalah,” potongnya, “si Leo nembak aku kemaren..”
            “Wah bagus dong…!”
            “Lho… kok kamu gak kaget sih?”
            “Ngapain kaget.. aku setuju banget.. itu bagus dong buat kalian berdua.”
            “Itu masalahnya, makanya aku tanya kamu emang aku masih normal ya? Aku gak jahat kan? Please Toni….” Ujarnya sambil meraih tanganku lagi dan menggoyangkan tanganku dengan wajah memelas.
            “Maksud kamu……. kamu nolak gitu?” tanyaku gak sabaran.
            “Boleh dibilang gitu sih… Toni. Soalnya gimana ya, aku udah anggap kita semua sebagai teman. Aku rasa aneh gitu, kalau tiba-tiba kita jadi pacaran, gak enak dengan teman semua.. aku bingung… makanya aku nanya, aku masih normal kan?”
            “Mirna, kamu harus jujur dengan diri kamu sendiri. Gak usah peduli dengan kita-kita. Kalo kamu juga suka dengan dia, gak apa-apa kok kalian pacaran. Kalo emang kamu gak ada perasaan ke dia, kamu juga harus jujur dengan diri kamu dan dia, biar dia tahu..”
            “Itu sih, aku gak ada perasaan ke dia..sih,” katanya lagi sambil menutup matanya dan membuat bibirnya kayak orang kepedasan..sambil kernyitkan kening. “Trus aku harus gimana, dong!”
            “Gimana gimana maksud kamu? Kamu jawab apa ke dia?”
            “Aku bilang aja ke dia, aku anggap dia sebagai sahabat terbaikku. Dan aku gak mau kehilangan sahabat. Karena kalo pacaran trus kalo akhirnya gak cocok, dan kemudian putus, aku pikir jadi sahabat pun susah jadinya. Dan aku gak mau kehilangan seorang sahabat”
            “Trus, apa jawab dia?”
            “Dianya diam saja, aku mencoba meminta maaf. Dia bilang gak apa-apa.. Cuma aku gak tahu harus gimana, ketemuan dengan dia lagi di kampus. Tapi aku gak mau kayak gini. Aku mau kita kayak dulu lagi. Bebas bercengkerama” ujarnya..
            “Aku juga bingung Mirna, harus beri komen apa.”
            “Tapi aku gak jahat kan sama dia? Dan aku masih normal kan?” tanyanya lagi cemas.
            “iya iyalah, kamu masih normal 100 persen, dan kamu gak jahat. Jadi, itu alasan kamu hari ini gak masuk kelas?”
            “Iya. Habis tadi aku telpon dia, hpnya dimatiin. Aku jadi merasa bersalah” jawabnya dengan senyumnya yang biasa.. manis..
            “Ah, gitu aja lu udah kayak orang kesetrum listrik.. santé aja.. kita gak bisa memaksakan cinta.. Dan dia pasti tahu itu. Nanti juga dia akan baikan lagi dengan kita-kita.”
            “Trus kalo ketemu dia, aku harus gimana?” tanyanya lagi.
            “Yah biasa aja. Pura-pura aja kayak gak pernah terjadi apa-apa. Dan aku pun akan pura-pura aja kayak gak tahu. Gampang kan?”
Mirna menarik dirinya sedikit ke belakang karena mbak pemilik warung itu akhirnya datang dengan pesanan kita dan hendak meletakkannya di meja kami. Asyiik… lalapan kesukaan gua.
            “Mbak, minta ditambahin sambalnya iya!” pesan Mirna sebelum mbak itu menghilang ke dapur kecilnya. Mbak itu hanya mengangguk senyum.
            “Walah… teman gue kalo bête kayak gini, sambalnya 3 mangkuk juga bisa diabisin, hahaha,” aku mengoceh dan langsung disambut dengan cubitan manja dari Mirna.
            “Kamu bikin aku malu saja..”
Aku pura-pura meringis kesakitan. Aku senang ia bisa tersenyum lagi, gak kusam kayak tadi aku lihat di kampus. Wajahnya ceria kembali.
            “Udah baik kan? Gak bête lagi kan? Tuh wajah kamu gak kusam lagi kayak pakaian yang gak disetrika.”
            “Iya dikit, thanks to you. Emangnya tadi wajah aku kusam banget ya?” tanyanya dengan senyum manisnya yang pernah aku kenal.
Aku meneliti setiap lekuk wajahnya. Dia benar-benar manis dan cantik. Apalagi kalo dengan wajah gembira seperti ini. Ia malah melotot ke arahku karena tingkahku.
            “Hmm, kayaknya lu lebih bagus bête aja lagi. Kayaknya lebik pas buat elo,” godaku membohong. Ia cuekin aja omonganku dan melahap sisa makanan dan sambal tambahan yang baru saja dibawakan oleh mbak pemilik warung.

*   *   *
Setelah kejadian itu, banyak yang berubah dan kelihatannya Leo mencoba untuk melupakan apa yang terjadi, begitu juga dengan Mirna. Tapi bisa terasa bahwa hubungan mereka gak seperti dulu lagi. Leo mulai jarang-jarang masuk kelas, atau kalau pun datang, selalu saja ada alasan untuk pulang lebih dahulu. Dia mengaku ke aku beberapa hari lalu bahwa ia sedikit patah hati dan ia mencoba sekeras mungkin untuk bangkit lagi. Aku hanya bisa mendukungnya dengan kata-kata.

Kadang kita jadi rindu sama Leo, tapi apa mau dikata. Dua hari yang lalu katanya dia udah dapat kerjaan paruh waktu dekat rumahnya dan mulai masuk kuliah kelas malam. Dengan hilangnya Leo di kampus kelas pagi, aku jadi lebih dekat dengan Mirna. Aku jadi sering menghabiskan waktu bersama Mirna karena Kelly juga bisa ngerasa kalau aku mulai menyukai Mirna.

Aku seharusnya gembira bahwa aku bisa lebih dekat dengan Mirna, tapi dalam hati aku merasa tidak nyaman. Pertama, Mirna orang yang bertipe ‘gak mau teman sendiri jadi pacarnya’. Kedua, cowok yang ditolak Mirna itu teman gua sendiri. Gimana nantinya kalo aku jadian sama Mirna, apa kata Leo nanti buat aku. Aku bisa dibilang teman makan teman. Aku berada dalam posisi dilematis.

*  *  *

Aku baru saja selesai bersihkan kebun sayur di belakang rumahku. Tiba-tiba hp di dalam celana pendekku berdering. Ternyata dari Mirna.
            “Hello? Ada apa?” jawabku.
            “Toni, bantuin aku dong, kamu harus datang ya. Aku tunggu kamu di pelabuhan sekarang juga.”
            “Hah? Sebentar, emangnya ada apa di sana? Kamu ditangkap polisi ya?”
            “Enggak, aku baik-baik saja, aku Cuma mau kamu temani aku di sini, di acara papaku. Please..” mohonnya.
            “Acara apa-an? Di pelabuhan lagi. Lagian, ini aku baru habis kerjaan di kebun, belum mandi, badan aku lagi belepotan lumpur.”
            “Pokoknya acara keluarga. Aku mau kamu temani aku, please.. Biar aku gak sendirian. Tau kan kalo acara orang tua, tamunya semuanya orang tua. Kamu gak usah mandi juga gak apa-apa? Cuma sebentar kok”
            “Wah gak bisa.. kalo di sana ada cewek cantik aku mau, tapi kalo semuanya tua-tua, aku juga gak mau. Kamu ajak si Leo aja. Lagian, kalo dia tahu aku sama kamu nanti dia mengira yang tidak-tidak lagi”
            “Kok ngomong si Leo sih? Aku mau kamu temani aku bentar saja. Aku janji, acaranya gak sampe sejam kok. Trus senin nanti aku traktir kamu makan malam, gimana?”
            “Hmm, gila lu? Tetap aja aku gak mau” ujarku.
            “Please.. kamu temanku yang paling baik. Kamu gak mau kan kalo aku nanti dikenalkan sama bapak-bapak tua di sini. Trus nanti mereka goda-godain aku lagi. Please dong.” Aku termenung berpikir sebentar.
            “Ya udah, satu jam lagi aku ke sana.” Dasar.. alasannya tak masuk akal, tapi tak apalah. Aku menurut saja, daripada nanti dipecat habis-habisan oleh dia senin di sekolah nanti.
            “Jangan… kamu datang sekarang saja. Aku tunggu sekarang juga di depan pelabuhan. Makasih ya, Toni, kamu sahabatku yang paling baik.” Click… teleponnya dimatiin.
Gila, nih anak… belum aku jawab apa-apa teleponnya dimatiin… Acara apa ya? Aku bingung.. di pelabuhan lagi? Emangnya di dalam rumah, atau di pinggir pantai di pelabuhan aku juga gak tau.

Aku bergegas membereskan alat-alat kebunku dan membasuh lumpur dari tubuhku seadanya, tanpa mandi. Dalam waktu 10 menit aku sudah tiba di pelabuhan. Mirna sudah menunggu di sana dengan senyumnya yang biasa. Ia kelihatan makin manis dengan dandanan pestanya malam itu. Sementara aku? Hmm masih bau lumpur dan bau keringat. Gila, dianya rapi banget…
            “Kamu lama banget tapi aku senang akhirnya kamu datang juga.” Katanya sambil menggandeng tanganku sambil melaporkan diri ke security yang ada di situ.
            “sepuluh menit aja dibilang lama. Nih, aku udah bela-belain gak mandi. Emangnya ada acara apa nih?” tanyaku setelah dipersilahkan oleh penjaga pelabuhan untuk masuk.
            “Papaku baru beli dua perahu angkut untuk bisnis perusahaannya. Jadi ada semacam acara pemberkatan dan launch gitu.”
            “Gila lu. Trus aku datang dengan kondisi seperti ini? Aku mau balik ah” protesku.
            “Eit, kan lu udah ada di sini.. gak apa-apa kok. Lagian acaranya di pantai sana bukan di dalam ruangan. Biar Cuma dengan celana pendek, kamu tetap kelihatan keren kok, hehehe.” Kekehnya menghentikan aku sambil melihat penampilanku sepintas. Aku tersenyum sedikit. Apa iya ya, aku dibilang keren? Hmm…bagaimanapun juga aku sedikit tersanjung, dia mau menerimaku apa adanya, malah mau membawa aku ke acara bokapnya dengan keadaan aku seperti ini. Jangan.. jangan...dia juga deman sama aku ? Ah gak mungkin. Mungkin hanya pikiranku saja.

Aku benar-benar gak enak dan gerogi karena orang-orang semuanya di sana berpakaian jas rapi. Tapi untunglah, Mirna selalu berada di sampingku dan setelah ketemuan sama papanya, kita beringsut agak jauh berdiri berduaan di tepi pantai gak ambil pusing dengan acara papanya. Dua perahu yang dimaksud itu kelihatan keren.. besar lagi dan pasti bagus untuk ngangkut barang-barang impor papanya. Sesekali papanya datang ngobrol dengan kita tapi kemudian pergi lagi. Papanya juga ok ok aja dengan penampilanku yang gak asyik banget.

Malam mulai menyelimuti semesta ketika acara makan malam tiba. Lampu-lampu di pinggiran pelabuhan itu mulai bersinar. Angin dari pantai itu sangat sejuk. Ombak dari pantai itu sesekali berpercikan ke udara karena menghantam landasan tempat perahu biasa berlabuh. Setelah mengambil makanan, aku dan Mirna kembali ke tempat semula dan bercengkerama ria. Entah kenapa, ia selalu kelihatan lebih cantik dari biasanya ketika wajahnya dikenai lampu sorot, seperti waktu di acara penutupan orientasi itu juga. Aku merasa bahagia bisa berduaan seperti ini, walaupun hanya sebatas teman. Andaikan saja.. oh andaikan saja … hanya Tuhan yang tahu apa yang ada dalam isi hatiku saat itu.
            “Mir, kamu gak malu ya, bareng aku kayak gini? Aku gak berdandan, celana pendek, badan bau lagi?” tanyaku.
            “Udah kubilang, kamu tetap keren kok. Kenapa harus malu? Kamu kan teman aku.”
            “Cuma teman ya?” tanyaku dengan dada agak bergemuruh. Ia melirik sebentar ke arahku.
            “Hmm gimana ya” Ia melihat ke atas langit dan tersenyum, “iya teman, maksudku teman spes……………oh…..” kata-katanya terpotong, karena ombak yang menghantam di pelabuhan itu berpercikan ke udara dan menghantam persis di wajahnya.
            “Waduh Ton, mataku perih banget?” katanya sambil ketawa, aku juga ikut ketawa.
            “Bantuin dong… kamu malah ketawa saja?” pintanya lagi…
            “Yah, yang namanya air laut itu pasti ada garamnya, dan kalo masuk mata pasti perih” ujarku. Aku mengambil tissue dari  meja tempat makanan tadi dan membantu mengeringkan wajahnya. Aku juga mencoba meniup matanya sambil tangan kiriku memegang bahunya. Tubuh kita sangat dekat, hatiku bergemuruh kencang sekali lagi. Oh Tuhan, makhluk ciptaanMu yang satu ini, benar-benar indah. Parfum Red Jeans yang dipakainya tercium jelas dengan jarak seperti itu. Andaikan dia bukan idola sahabatku Leo.

Setelah beberapa detik, matanya bisa dibuka lagi, dan mata kita bertautan sangat dekat, aku benar-benar terpana dan hanya bengong. Dan betapa kikuknya aku saat itu. Wajahku dan wajahnya Cuma beberapa senti.
            “Selamat ya, untuk kalian berdua. Aku gak tau, kalo ternyata teman gua sendiri menusukku dari belakang?” tiba-tiba suara Leo memecahkan keheningan di antara kita. Entah dari mana ia muncul. Aku melepaskan bahu Mirna dari tanganku dan mencoba menjauhkan tubuhku sendiri dari Mirna.
            “Leo, ini tidak seperti yang kamu lihat. Aku cuma bantu dia….” Sahutku ke Leo tapi langsung dipotong olehnya.
            “Ah, gak usah basa-basi… kalian berdua sekongkol. Seharusnya dari dulu aku sadar. Aku tau kok Ton, kamu suka sama Mirna kan? Jangan pura-pura. Aku benci punya sahabat seperti kamu,” ujarnya lagi.
            “Iya, kita cuman… ini mata aku tadi …” sahut Mirna terbata-bata mencoba menjelaskan.
            “Ah sudah… ga perlu penjelasan. Kamu tahu gak Mirna, Ton itu suka sama kamu, dan aku tahu, kamu menolak aku karena kamu juga suka kan sama Toni?”
            “Kamu kenapa sih? Kok jadi malah menuduh yang gitu-gitu? Leo, kamu itu sahabatku. Kita semua adalah sahabat”
            “Iya.. itu dulu, tapi sekarang jangan panggil aku sahabat lagi.”
“Leo, dengar dulu. Kamu sahabatku, Mirna juga sahabat kita semua.. masak aku bisa berbuat seperti itu ke kamu? Ini aku teman kamu. Tolong dengarkan aku,” aku meminta.
“Gak peduli, aku tau kok kamu dari dulu juga suka sama dia. Selamat ya buat kalian berdua,” kata Leo lagi sambil beranjak pergi dengan wajah garang. Mirna mencoba mengikutinya untuk menjelaskan, tapi ia tidak menyahut dan pergi begitu saja.
            “Nanti aku hubungi dia dan ngomong baik-baik dengannya. Mirna, aku sori banget ya, soal tadi. Kamu gak apa-apa kan,” kataku setelah ia balik ke tempat semula.
            “Iya gak apa-apa. Aku gak tahu harus gimana dengan dia.”
“Iya, aku juga. Dia kok malah berpikiran seperti itu sih.”
“Ton, aku minta ijin ke papa, kamu tolong antar aku pulang ke rumah sekarang ya, please. Soalnya baju aku juga sedikit basah karena percikan air laut tadi” mohonnya.
“Ok, terus balik lagi gak?”
“Gak, aku mau istirahat, lagian kan tadi aku ajak kamu untuk bentar aja kan?”
“Iya, sekali lagi sorry banget soal tadi. Soal Leo, nanti aku yang ngomong ke dia ya.”

Aku langsung mengantar Mirna balik ke rumahnya di Delta. Dalam perjalanan Mirna tak berbicara. Sikapnya berubah. Mungkin ia percaya atas omongan Leo, bahwa aku menyukainya. Aku tahu aku juga bakal menerima kenyataan pahit seperti Leo. Aku bingung, haruskah aku bohong kepadanya bahwa apa yang dikatakan Leo itu tidak benar, atau haruskah aku jujur? Mungkin lebih baik didiamkan saja. Gak usah didiskusikan lagi.

Setelah pamit dan Mirna hilang di balik pagar rumahnya, aku langsung membalikkan motorku ke rumah. Otakku tak tenang atas kelakuan Leo tadi. Semua keindahan yang tadi aku alami, semuanya serasa punah. Walau kelihatan tenang, di dalam hati, aku merasa lebur dihancurkan oleh temanku sendiri. Mau jujur kepadanya bahwa perkataan Leo itu benar, juga salah. Aku nanti malah dibilang pengecut dan sekaligus pengkhianat teman sendiri. Ah… kepalaku benar-benar pusing.

Baru saja hendak merebahkan tubuhku ke sofa di ruang tamuku, ada sms masuk ke hp-ku. SMS dari Mirna. Hatiku berdegup kencang. Pesan apa lagi ya? Aku mungkin dicaci-maki olehnya.
            “Ton, apa benar kata Leo tadi? Emang benar kamu suka sama aku?” aku baca isi sms itu dan tak tahu mau balas bagaimana. Aku menekan nomornya dan menelepon. mungkin menjelaskannya lewat telepon lebih bagus daripada lewat sms. Tapi telepon aku dimatiin. Kucoba lagi dua kali, tapi dimatiin oleh Mirna.
            “Ton, aku mau kamu jujur, ya atau tidak. Aku masih gak mau bicara sama kamu lewat telepon. Tolong jawab saja lewat SMS.”  SMS-nya yang kedua masuk lagi. Aku menarik nafas panjang dan mengetik balasannya, “Sejujurnya, jawabannya adalah iya. Tapi, kan kamu udah bilang, kamu gak mau kalo teman dekat kamu menyukai kamu. Maaf ya..kalo kamu pikir aku juga pengecut.”
Setelah smsku itu, tidak ada lagi balasan darinya. Aku mencoba sms lagi dengan kejujuranku sekaligus meminta maaf kalo membuat dia marah. Tapi Mirna tak pernah membalasnya lagi. Aku mencoba menelepon, tapi hpnya gak aktif. Aku jadi resah. Aku coba telepon Leo, Leo juga ngambek, gak mau angkat telepon. Aku mulai merasa benar-benar kehilangan bidadariku dan sahabatku semuanya.
           
*    *    *

Sejak kejadian itu, aku tak pernah lagi melihat Mirna di kampus. Ia bagai hilang begitu saja. Setiap kali aku tanya ke Kelly, dia bilang dia juga tak tahu. Aku melihat Leo di kampus dua atau tiga kali, tapi setiap kali kita berpapasan, ia berpaling. Aku yakin ia masih marah kepadaku. Aku sudah mencoba mengajak bicara berkali-kali, tapi ia cuma berlalu begitu saja. Sejak itu, aku tak pernah melihat sahabat-sahabatku lagi. Aku jadi sering menyendiri di kampus karena gak ada teman. Untuk pertama kalinya aku merasa kampus bukan lagi tempat yang indah dan menarik untukku.

Aku akhirnya memutuskan untuk bekerja dan mengambil kuliah malam saja. Dengan demikian aku bisa ada kesibukan dan bisa melupakan segalanya.
            “Yah, sabar bro. siapa tahu di kelas malam nanti lu bisa melupakan semuanya,” kata Roni sahabat lamaku pas aku di rumahnya.
            “Yah, aku mau melupakan segalanya. Orang-orang di kelas pagi, sekalian kan aku ada duit, kalo ada kerjaan” jawabku sambil senyum hambar.

Doaku terkabul, lamaranku di kantor perusahaan swasta itu diterima, jadi sekarang aku transfer ke kelas malam. Aku yakin aku bakal bertemu dengan orang-orang baru dan bersahabat dengan mereka mulai dari awal tanpa ada sejarah yang menghantuiku.

*   *   *

Hari itu, hari pertamaku kerja di kantor dan hari pertamaku juga kuliah kelas sore. Karena telat, aku masuk kelas lewat pintu belakang. Aku agak kaget karena di barisan depan, di sana ada Mirna. Di sampingnya duduk seorang wanita. Jantungku berdetak sesaat walaupun perih juga berhambur bersatu dengan detakan itu. Hampir sebulan lebih aku tak tau ke mana dia pergi. Hari ini kutemukan lagi.. Ini kesempatanku, ujarku dalam hati.

Hari mulai malam ketika kelas berakhir. Aku membiarkan Mirna keluar duluan tanpa ia tahu kalau aku juga ada di kelas itu. Dari kelas aku melihatnya berjalan ke arah jalan raya. Tanpa menuju ke motorku, aku langsung menghampirinya yang barangkali lagi menunggu jemputan.
            “Hei, lagi nunggu jemputan bokap kamu ya?” aku menyapanya dari belakang. Tiba-tiba ia membalik dan melihat ke arahku.
            “Jangan pergi dulu, sebelum aku bicara, ya?” potongku sebelum ia beranjak pergi.
            “Kamu kok di sini? Ngapain ke sini?” tanyanya.
            “Ya, aku udah kuliah malam juga. Aku tadi duduk di belakang kamu. Aku antar yuk, balik ke rumah kamu,” ajakku.
            “Gak perlu, aku bisa pulang sendiri. Papaku juga lagi mau jemput. Kamu mendingan pergi aja deh.”
            “Batalin aja, pasti dia belum juga keluar dari rumah.”
            “Gak perlu, aku masih bisa menunggu. Aku tak butuh bantuan kamu,”
            “Kamu kok kayak gitu sih? Tiba-tiba menghilang tanpa info ke aku. Aku cari kamu ke mana-mana. Semua teman-temanmu juga gak ada yang mau bilang ke aku, ke mana kamu pergi. Sekarang udah ketemu malah judes kayak gitu sih? Sebegitu bencinya kamu ke aku ya? Apa salah aku?”
            “Salah kamu? Gak ada. Cuma aku kesal sama kamu?”
            “Apa karena aku menyukai kamu? Itu ya?”
            “Iya.. mungkin !”
            “Mirna, aku menyukai kamu sesungguhnya. Terserah kamu mau bilang apa. Kalau kamu tidak mau menerima aku karena aku sahabat kamu sendiri, tidak apa-apa, tapi serius aku tidak mau kehilangan kamu. Tolong jangan hilang lagi dari hidupku. Melihatmu tersenyum sesaat aja, sudah membuatku bahagia. Ok, aku pengecut karena gak berani katakan ke kamu dari dulu. Tapi aku gak bisa bayangkan kalo kamu juga hilang dari hidupku karena kamu tidak mau menerima aku dengan alasan yang sama seperti kamu kasih ke Leo. makanya aku memilih diam saja” Jelasku panjang lebar.

Ia melihat ke arahku, memandang dalam ke mataku. Aku mencoba meraih tangannya.
            “Mirna, kalau kamu benci dan marah aku minta maaf ya. Tapi aku gak bisa bohongin diri aku sendiri, aku rindu kamu, aku benar-benar sayang kamu,” sambungku lagi.
            “Ton, kamu itu berlebihan. Ok, kamu bilang sayang aku, tapi kalo aku gak sayang kamu gimana?” jawab Mirna. Kata-katanya itu benar-benar menghantamku.
            “Serius? Kamu gak suka sama aku?” tanyaku dengan nada pahit. Aku menelan ludah yang serasa pahitnya bukan main.
            “Iya, emangnya kurang jelas? Dan aku juga gak mau jadi sahabat kamu lagi” katanya tidak melihat ke arahku. Aku melepaskan tangannya perlahan. Hatiku sesak, serasa ada yang mengganjal di dadaku. Aku memandang ke atas. Langit yang kelam membuat mataku juga buram.
            “Aku permisi, makasih udah mau jujur dengan aku,” pamitku pergi. Saat itu juga mobil jemputannya datang. Aku hanya bisa memandangnya saat ia melangkahkan kaki ke dalam mobil papanya.

Dalam perjalanan pulang, aku merasa sakit yang bukan kepalang. Mungkin ini yang pernah dirasakan Leo saat ia ditolak. Sekarang aku mengerti bagaimana sakitnya kalau ditolak. Perihnya bukan main. Paling parah, semua kenangan indah bersamanya terus berputar di kepalaku. Senyum dan tawanya dulu yang pernah menghiasi mimpiku semuanya perputar ulang di kepalaku kayak review televisi. Masih juga terbayang saat-saat aku diundang ke acara papanya. Aku merasa tersanjung, ia mau menerima aku adanya dengan keadaanku seadanya. Semua kenangan itu campur mengharu-biru di hatiku. Aku telah salah mengira, ternyata ia tidak menyukaiku.

Yang tidak aku mengerti, apa salahku, mengapa ia bersikap seperti itu. Andaikan aku malaikat atau Tuhan yang bisa tahu isi hatinya.
*   *   *

Sudah tiga minggu, sejak kejadian di kampus malam itu. Aku jadi malas-malasan ke kampus. Perkiraanku dulu bahwa kuliah malam akan membawa kebahagiaan padaku ternyata salah. Sejarah pahit itu masih terus menghantuiku. Yang paling pahit, kemarin jam makan siang tanpa sengaja aku melihat Mirna dan Leo bersama Dina, cewek yang selalu duduk di samping Mirna di kelas malam itu makan bareng. Mungkin Leo udah balikan jadi teman Mirna, atau malah mereka udah pacaran. Mereka kelihatan akrab sekali. Melihat kebahagiaan mereka, sakit hatiku terasa semakin besar.

Aku duduk termenung bingung karena hari itu hari sabtu sekalian hari ulang tahunku. Dulu biasanya hari ulang tahunku dirayakan dengan ceria bersama teman-temanku. Kali ini, aku benar-benar sendiri. Cuma Kelly sahabatku satu-satunya yang ingat akan hari ulang tahunku dan mengundangku untuk makan malam dengannya di rumah makan Golden Star. Mulanya aku menolak, tapi akhirnya aku mengalah. Toh lebih baik, daripada bingung sendiri di rumah di ulang tahunku.

Jam tujuh seperempat aku dan Kelly sudah duduk santai di Golden Star menunggu pesanan makanan tiba.
            “Selamat ulang tahun Toni,” ucap Kelly sambil mengeluarkan sebuah kado kecil dari tasnya.
            “Makasih, kamu gak harus beli kado kok. Dengan kamu mengundangku makan malam ini, aku udah senang,” kataku senang.
            “Iya, aku gak mau kamu sedih di hari ulang tahunmu. Soal teman-teman semuanya, harap kamu maafkan mereka ya. Mungkin saja mereka masih marah sama kamu. Iya, aku sudah dengar cerita soal kamu sama Leo dan Mirna. Maafkan mereka ya, mereka cuma butuh waktu untuk mengerti tapi aku yakin mereka masih sayang kok sama kamu sebagai sahabat,” katanya lagi.

Aku hanya diam dan menganggukkan kepala.
            “Oya, ini ada titipan dari Mirna,” kata Kelly sambil memberikan sebuah amplop, “dan katanya, kamu harus baca di sini sekarang juga biar aku tahu. Katanya kalo kamu gak baca di sini, dia yakin kamu pasti gak akan baca nanti dan mungkin buang di tempat sampah. Dan itu akan membuatnya kecewa,” sambungnya lagi.
Aku membuka amplop itu. Di dalamnya sebuah kartu ucapan hari ulang tahun dan pesan singkat.
                       
                        Dear Toni,
Aku tahu kamu masih marah sama aku, aku mengerti banget. Tapi aku cuma mau mengucapkan selamat ulang tahun untukmu di hari spesialmu ini.

Aku tidak pernah marah sama kamu. Aku tidak pernah membenci sama kamu. Kalau mau jujur kamu orang yang paling dekat di hatiku. Aku mau kamu memaafkan aku soal kejadian malam itu di depan kampus. Aku akan menjelaskan semuanya pada kamu besok, kalau kamu memaafkan aku. Maukah kamu memaafkan aku? Aku menunggu jawaban darimu dan tolong katakan pada Kelly kalo kamu udah memaafkan aku.

Sekali lagi, Selamat ulang tahun Ton.

Mirna

Aku membaca pesan itu dengan hati giris. Aku memasukkan lagi kartu itu ke dalam amplopnya.
            “Maaf ya, Ton. Tadi aku baca juga isi suratnya. Jadi gimana? Kamu mau memaafkan Mirna gak?” ucap Kelly.
            “Gimana ya? Aku gak tahu. Sebenarnya sih aku gak marah. Sakit sih ya.. namanya juga cinta ditolak, ya kan? Tapi sikapnya itu lho. Aneh banget, dia berubah jadi orang asing gitu, aku gak ngerti, katanya lagi, dia juga gak mau bersahabat dengan aku lagi” jawabku berbelit.
            “Yah, simple saja, mau memaafkan atau gak? Ayo!” kata Kelly sambil senyum menggoda. Aku tersenyum hambar.
            “Jadi cowok susah amat sih, mau gak?” godanya lagi.
            “Iya, gimana ya? Ok deh aku maafkan. ” jawabku asal saja.
            “Serius dong. Harus ikhlas lho!” kata Kelly lagi.
            “Iya ya.. ikhlas.”
            “Asyik.. berarti kita bisa bareng lagi seperti dulu ya!” Kelly kelihatan kegirangan. Aku hanya tersenyum. Yang tak aku mengerti, mengapa Mirna begitu ketus malam itu di depan kampus UNDIL dan kenapa tiba-tiba sekarang dia mau berubah? Kelly meraih tasnya dan mengutak-atik hpnya lagi.
            “Lagi ngapain lu?” tanyaku soal hpnya.
            “Gak, cuma mau cek jam aja, soalnya pesanan makanan kita lama banget.”
            “Cek jamnya kok ketik-ketik gitu?” dia hanya tersenyum mendengar komentarku.

Tak lama kemudian pesanan makanan pun tiba. Di luar dugaanku, pesanannya banyak sekali.
            “Kelly, kamu pesannya kok banyak banget? Kamu yakin kita berdua bisa habisin semuanya?” aku bertanya pada Kelly kebingungan.
            “Kalo gak habis, dibungkusin dan dibawa pulang, gampang kan? Ayo makan!” kata Kelly sambil tersenyum dengan raut wajah yang tak aku mengerti.
            “Gak usah dibungkus, kita-kita bantu habisin kok! Ini malah mungkin gak cukup,” tiba-tiba dari belakangku terdengar suara Mirna. Aku kaget dan langsung balik ke arah suara itu datang. Di belakangku sudah berdiri Mirna, Leo dan Dina, sahabat Mirna yang baru. Leo? Dia juga di sini? Hatiku bertanya-tanya, ada apa sebenarnya? Bukankah Leo membenciku?
            “Selamat ulang tahun, Ton!” ucap ketiganya satu per satu sambil meraih tanganku.

Untuk sesaat aku merasa senang, tapi juga sedih karena kehadiran Leo di sana. Tapi seperti kata Kelly, aku harus ikhlas, yang penting persahabatan kita bisa seperti dulu lagi.
            “Sorry bro, kamu masih marah sama aku ya?” kata Leo sambil menepuk bahuku.
            “Kayaknya sih aku gak pernah marah sama kamu, kamu tuh yang marah dan menghindar dari aku. Aku baik-baik saja.” Jawabku seadanya. Semuanya ketawa mendengar ucapanku. Ya Tuhan, aku senang, sahabat-sahabatku bisa dekat denganku lagi, terlebih lagi di hari ulang tahunku ini.
            “Ngomong-ngomong, boleh gabung gak?” tanya Mirna sambil senyum.
            “Oh iya, sampe lupa, silahkan. Silahkan duduk,” sahutku bersahabat. Ketiganya duduk di sekeliling meja. Aku meneliti wajah mereka sambil senyum. Kelihatannya Leo dan Mirna udah dekat banget. Ikhlas Ton, sekali lagi kata hatiku. Aku meraih kartu Mirna yang masih di atas meja dan menaruh di saku jaketku. sementara tiga teman baru itu mengeluarkan kado-kado kecil mereka. Aku hanya bisa berterima kasih.

Awalnya makan malam itu terlihat agak kikuk, tapi akhirnya jadi lancar dan suasana ceria kembali. Sehabis makan malam, tiba-tiba Mirna menghilang dan balik dari dalam resto itu sambil menenteng sebuah kue ulang tahun buatku. Aku hanya bisa tersenyum puas melihat wajah teman-temanku. Ternyata mereka sudah merencanakan semua ini. Hari ulang tahunku akhirnya asyik juga.
            “Sebelum potong kuenya, aku ada pengumuman buat kita semua,” tiba-tiba Leo menghentikan percakapan kami semua.
            “Aku mau malam ini menjadi malam yang spesial buat Toni. Jadi untuk tiup lilinnya, saya minta Toni ditemani oleh Mirna. Ayo Mirna!” sambungnya lagi. Kok jadi Mirna? Aku dikerjain kali ya, pikirku.
            Mirna dengan senangnya mendekatiku dan duduk di samping kananku. Leo mulai menyanyikan lagu ulang tahun diikuti oleh semua teman-teman. Sementara mereka bernyanyi tangan kiri Mirna menemukan tangan kananku. Digaetnya tanganku dengan lembut. Aku hanya memasang wajah senyum sambil menunggu mereke selesai nyanyi dan meniup lilinnya.
            “Makasih teman-teman semuanya, aku senang sekali, ini kejutan ulang tahun yang paling baik yang pernah aku terima,” ujarku setelah lilinnya mati.
            “Eit sabar dulu. Kamu harus bilang dulu kalo kamu udah memaafkan Mirna. Soalnya, dia bilang, dia pernah menyakiti kamu dengan menolak cinta kamu. Kamu mau memaafkan dia kan?” kata Leo lagi. Kelly juga ikut-ikutan komentar, “benar tuh! Mau gak?”
            “Iya, ya aku sudah memaafkan kok,” sahutku asal saja.
            “Dan katanya lagi, waktu itu dia berbohong pada kamu dan pada dirinya sendiri. Dia sebenarnya suka sama kamu dan mau menjadi lebih dari sahabat”
            “Oya, trus kamu? Bukannya Mirna pacar kamu, Leo?”
            “Enggaklah, kan cintanya cuma sama kamu. Aku udah jadian sama Dina,” kata Leo lagi sambil memeluk Dina di sampingnya. Aku melihat kea rah Mirna yang hanya menunduk malu.
            “Aku gak ngerti semuanya. Ini bukan mimpi kan?” kataku.
Saat itu juga Leo menampar pipiku.
            “Eh, kok malah ditampar sih?" aku beri komentar dan mengelus pipiku yang sakit. Semuanya tertawa.
            “Sakit kan? Berarti gak mimpi, hahaha,” Leo kembali tertawa. “Gini, alasannya waktu itu Mirna nolak kamu karena dia gak mau melihat aku sakit hati. Katanya kalo dia menerima cinta elo, nanti aku merasa disakiti dan dikhianati. Makanya dia mau menghindar dari elo, untuk yang terbaik buat kita semua, katanya. Aku udah bilang ke dia, aku udah ga apa-apa. Jangan korbankan cintamu dan perasaanmu untuk aku.
Dan untuk aku, gak mungkinlah aku maksakan cinta. Kan hatinya Mirna bukan buat aku. Dan aku juga gak mau egois. Hanya karena perasaanku, aku kehilangan sahabat-sahabatku” Sambung Leo lagi. Aku mengalih pandangan ke Mirna yang dari tadi hanya menunduk diam.
            “Benar ini Mirna?” aku menggoyang bahunya. Ia perlahan melihat ke arahku dengan malu-malu. Kemudian mengangguk setuju.
            “Trus, sikap kamu yang aneh dulu tiba-tiba menjauhi aku itu kenapa? Apa alasannya?” tanyaku lagi tertuju pada Mirna.
            “Lah itu kan, salah kamu. Masak aku harus mendengarkan isi perasaan kamu dari orang lain? Kamu seharusnya bilang langsung ke aku dong,” katanya tersipu malu.
            “Wah, sama dong. Itu yang tadi Mirna, kamu juga gak bilang langsung ke aku kan? Kan tadi Leo yang bicara?” sahutku membela diri sambil tersenyum.
            “Ya udah deh, yang penting kalian sudah tahu perasaan masing-masing kan, dan kita-kita adalah saksinya.” Kelly yang dari tadi diam, ikut beri komentar. Yang lainnya hanya ikut ketawa.
            “Jadi, gimana? Masih mau jadian, gak? Kalo gak mau, nanti dicaplok orang lain lho, Ton?” goda Leo lagi.
            “Lu lagi, lu lagi, Leo. Kasih kesempatan dong biar Mirna yang tanya sendiri,” celoteh Dina, pacarnya Leo.
Aku melihat wajah sahabatku satu-satu, dan kemudian Mirna. Semuanya berharap yang positif. Aku merangkul Mirna yang duduk di sampingku dan mendekapnya dalam pelukanku sambil berbisik di telinganya, “masih mau kan kamu jadi pacar aku?” Mirna hanya mengangguk.
            “Ngomong yang keras dong, mana bisa kita dengar, Mirna dia bisik apaan tuh?” Dina dan Kelly memprotes. Aku dan Mirna hanya senyum. Mirna masih dalam dekapanku. Seketika luka yang selama ini di dalam hatiku hilang entah ke mana. Aku merasa kayak terbang di kayangan.

Aku memotong kue ulang tahunku dengan ditemani oleh Mirna dan sahabat-sahabat dekatku. Aku juga disuapin kue oleh tangan Mirna sendiri. Mataku tak lepas darinya. Ini bukan mimpi, tapi kenyataan. 

Aku merasa bahagia sekali, hari ulang tahunku, menjadi juga hari spesialku karena hari itu juga aku mendapatkan bidadari impianku selama ini. Terima kasih atas semua sahabat-sahabatku. Terima kasih UNDIL tempat aku mendapatkan cintaku.
            “Mirna, kamu batalin jemputan ayah kamu ya. Biar aku yang ngantar kamu pulang,” ajakku sebelum keluar dari Golden Star malam itu.
            “Udah aku batalin tadi. Kan kamu yang anterin aku sekarang”
            “Wah, cepat amat. Kamu selama ini ikut kursus untuk mempunyai kemampuan mempercepat waktu ya? Tadi di kartumu juga katanya ketemuan besok, eh tiba-tiba nongol?”
            "Yang itu kan di-sms sama Kelly tadi." Ooooh, aku jadi teringat saat Kelly utak-atik hp tadi.  
Mirna mencubit lenganku gemas. Dan kami berpelukan disaksikan semua temanku.


UNDIL,  25 Agustus 2005
Billito Soares